KARINA
Karya: Ghumai Namira
Hentakan
kakinya halus namun lelet. Badannya gontai mengikuti langkah yang memaksanya
terus maju sampai menyentuh pintu keluar bangunan lembab ini.
Di
luar hujan. Orang-orang membuka payung mereka lebar-lebar, berjalan lurus
menepis tetesan air yang menyiprat ke kulit dan alas kaki.
Wanita itu mengecek lagi barang-barang dalam tas yang ia
tenteng. Pakaian, buku catatan, kartu tanda penduduk, dan beberapa perintilan
tak penting lainnya. “Sudah semua,” pikirnya.
Hujan semakin deras. Mulanya hanya sepertiga tanah yang
basah, sekarang airnya sampai bersibaran di dekat telapak kakinya, kendati
wanita itu telah berada di tempat beratap. Langit sudah gelap padahal masih
tengah hari. Sembari menunggu hujan reda, ia juga menunggu seseorang. Entah
siapa yang ditunggunya, namun wanita itu tetap bersimpuh disana. Menunggu
seseorang atau barangkali sesuatu, datang padanya.
Bangunan ini, yang tinggi pondasinya, kukuh ruas-ruasnya,
dan menjulang ke langit gerbang utamanya, adalah tempat yang tidak pernah ia
harapkan akan dikunjungi sepanjang hidupnya. Tidak sebagai tahanan. Namun
sekarang wanita itu justru keluar dari sana setelah mengendap 10 bulan lamanya
mengenakan baju oranye yang familiar di halaman utama koran atau tabloid.
10 bulan yang lalu wanita itu merupakan seorang dokter
spesialis anak yang bekerja di sebuah rumah sakit tersohor di pusat kota dengan
impresi positif dari banyak orang. 10 bulan yang lalu wanita itu masih menjalin
hubungan romantis dengan kekasih sesama dokternya yang kini telah raib batang
hidungnya. 10 bulan lalu, hidup berjalan sesuai keinginannya. Sekarang, rumah
untuk pulang pun ia tak punya. Teman untuk berbagi sudah menjauh. Tak ada yang
tersisa untuk wanita itu. Hanya tinggal luka dan cerita 10 bulan silam yang tak
bisa dihapus sebagaimana tulisan di papan tulis.
Ingatannya melayang ke masa-masa sebelum segala
sesuatunya berubah kelam.
***
“Kalau lulus seleksi berikutnya kamu bisa saya promosikan
langsung ke direktur rumah sakit untuk ambil kursi kosong di bidang spesialis
anak kelas satu.” Sambil mengaduk-aduk teh manisnya, pria yang sudah beruban
sempurna rambutnya itu bicara tanpa melihat wajah Karina.
“Saya sudah gagal satu kali. Sulit untuk mengejar posisi
itu bila dari awal sudah menunjukkan prospek yang buruk.”
Pria itu menggelengkan kepala kencang-kencang. “Jangan
bilang seperti itu. Dunia medis tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami menerima
mereka yang berjuang tanpa pamrih, yang mengabdi pada kelangsungan hidup
manusia tanpa menengok imbalan, dan kamu memenuhi dua kriteria itu.”
Karina tersenyum lembut mendengarnya. Seperti obat,
ucapan pria itu sedikit banyaknya mengobati cedera hati yang disebabkan
kegagalannya.
Ada rumor beredar, dokter yang terpilih pada seleksi
rekrutmen tenaga kerja medis pelopor Rumah Sakit Cemara Asri semuanya sudah
diatur sejak awal. Artinya ada udang dibalik batu. Rumor lain juga menyebutkan
tahun ini penyeleksian sepenuhnya ditata lewat uang dan koneksi. Siapa yang
memiliki afiliasi, dia yang dapat.
Karina
bisa melihatnya dengan jelas. Alasan mengapa ia gagal memperoleh kesempatan
tersebut. Alasan mnegapa pihak manajemen meloloskan 3 dari 7 dokter
berinterpretasi dibawah standar yang sama sekali tak memiliki keistimewaan
apalagi bakat. Semua bisa melihatnya dengan mata telanjang.
Karina menunggu setahun lamanya untuk kembali ke tempat
itu lagi dalam rangka membuktikan sesuatu. Apakah prasangkanya selama ini hanyalah
sebatas prasangka.
Dokter yang berada di hadapannya masih sama dengan tahun
lalu. Pria yang menawarkannya promosi juga duduk disana, mengelus-elus rekam
akademiknya dengan tangan bersarung kain. Tiga diantaranya Karina kenal dengan
baik. Merekalah saksi kegagalannya mengenyam julukan dokter spesialis 12 bulan
lalu.
“Baiklah. Kami telah melihat ketekunan anda dan kami
mengaku sangat tertarik usai melihat catatan akademik anda. Anda berbakat,
harus diakui. Tidak ada jawaban yang melantur, semua berimplikasi dengan
prospek tenaga medis. Ditambah dedikasi anda yang besar membuat kami yakin
sekali anda merupakan sosok yang bertanggung jawab dan berintegritas. Oleh
sebab itu, kami harap anda menemukan tempat yang cocok di masa depan. Terima
kasih.”
Sialan. Bahkan
jawaban yang diberikan tak jauh beda dengan tahun kemarin.
Namun itu tak membuat Karina berlarut-larut dalam lara. Toh
hal serupa pernah terjadi padanya. Terlebih, sebelum menginjak ruang interview wanita itu sudah memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan paling pahit, ia bisa melihat apa yang akan terjadi
pada akhirnya.
Berhasil
membuktikan prasangkanya selama ini, membuatnya puas.
***
Tak butuh waktu lama, Karina mencoba penyeleksian di tiga
rumah sakit berbeda. Rumah sakit dengan mutu pelayanan paling baik di kelasnya
berbasis kepuasan pasien, ia mengincar rumah sakit dengan perspektif jelas. Dan
berniat mengabdikan dirinya habis-habisan setelah menemukan satu.
Rumah sakit ketiga ia mendaftar memberi lampu hijau pada
Karina. Ia diberi wewenang untuk mengisi bidang spesialis anak persis seperti
yang diharapkannya.
Tahun
pertamanya sebagai dokter berangsur gemilang. Kebanyakan pasien yang telah ia
tangani memberikan kesan dan catatan positif, baik dari aspek kepribadian maupun
penalangan. Dalam dua tahun Karina berhasil meraih posisi spesial. Gajinya
meningkat tiap temponya dan direktur rumah sakit nampak yakin sekali padanya.
Sepanjang perjalanan karirnya menjadi dokter, Karina
telah bergumul dengan macam-macam penyakit anak dimulai dari demam, diare,
ISPA, lambung sampai kelainan kulit. Karina semaksimal mungkin mengobati
pasiennya secara adil tanpa memandang status sosial maupun latar belakang.
Banyak hal terjadi, pengalaman menambah pengetahuan,
bahkan tak jarang diselingi cerita lucu. Dari anak penderita ISPA yang bergidik
ngeri melihat jarum suntik, bocah laki-laki dari negara berbeda muntah di lift
rumah sakit disebabkan bau infus yang menguar, anak perempuan kenalannya trauma
pada jas putih panjang dan stetoskop, sampai anak pengidap asma yang tak bisa
menelan obat pil.
Reaksi
berbeda-beda datang mengetuk pintu ruangannya, namun setelah segalanya berakhir
anak-anak itu akan pulang dengan wajah sumringah sambil berkata, “Terima kasih,
Dokter.”
***
Seorang dokter baru datang mengisi ruangan di sebelah
Karina. Sudah satu tahun sejak ruangan itu kosong usai ditinggalkan Dokter
Valerie yang mengambil pensiun dini. Kini seorang pria bernama Hanif mengambil
alih posisinya sebagai dokter spesialis mata.
Hanif
merupakan sosok yang sopan dan tekun. Bersamanya Karina merasa bisa menumpahkan
semua isi kepalanya sekalipun itu mengerikan dan menjijikkan. Status rekan
berubah menjadi pasangan setelah 7 bulan saling mengenal. Usai jam kerja mereka
membuat janji temu di toko donat seberang rumah sakit. Sebagaimana hubungan
yang baik merupakan hubungan yang tertutup, keduanya sebisa mungkin menjaga
privasi keduanya di hadapan rekan tenaga medis lainnya.
***
Desember datang melumat bulan sebelumnya. Desember, 10
bulan yang lalu. Bulan dimana peristiwa tak terduga membesuk pintu ruangan
Karina. Menguras habis semua yang ia miliki dalam hidup. Mendadak dan tak
terduga.
Hari
itu cerah. Matahari menyembul dari balik awan putih yang berjajar rapi. Angin
mendatangkan sejuk, rumah sakit bekerja seperti biasanya. Karina duduk di
ruangannya. Sembari menyesap kopi ia mempelajari beberapa dokumen yang
diberikan padanya pagi ini.
Telepon khusus berdering. Panggilan dari meja
adminstrasi.
“Pasien akan segera masuk ke ruangan anda, Dokter,” ujar
suara di sambungan telepon.
“Apakah ada janji?” tanya Karina.
“Sepertinya tidak.”
“Kalau begitu izinkan masuk setelah 5 menit.”
Seorang ibu bersama dengan anaknya yang kelihatan masih
duduk di bangku sekolah dasar melewati pintunya. Gadis itu terlihat sehat dari
penampilan luarnya, tapi seperti yang Karina pahami banyak penyakit yang tidak
menunjukkan gejala fisik.
Ibu dari pasien muda itu menjelaskan gejala ringan yang
di derita putrinya sejak kemarin, seperti demam tinggi, batuk dan napas tak
beraturan. Karina meminta gadis itu berbaring di atas kasur. Saat dicek suhu
tubuhnya, bisa disimpulkan gadis itu terserang demam ringan. Karina menekan
perut gadis itu dengan stetoskop. Dari perut beranjak ke bagian atas tubuh.
“Ada yang tidak beres.”
Saat melakukan rontgen
sederhana, paru-paru gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Terdapat
entitas-entitas tak dikenali yang menembus selnya. Dan itu berbahaya.
Kendati
pasiennya terlihat seperti sekadar sakit ringan, tapi di dalam tubuhnya sesuatu
yang gawat sedang terjadi.
Karina
meminta bantuan atasan dan rekan lainnya untuk menganalisa, berhubung ini kasus
yang tidak biasa. Ibu gadis kecil itu berubah tegang saat dokter lain masuk ke
ruangan, stetoskop tergantung di leher mereka, raut wajah beralih serius.
“Apa
yang terjadi? apa yang terjadi?” hardik Ibu itu cemas.
Dokter
yang berkumpul di ruangan Karina tak seorang pun berani menyimpulkan.
Hipotesis-hipotesis abstrak diajukan tapi tak satupun yang merujuk dengan tepat.
Aneh, batin
Karina.
Bergulat
dengan teori hanya membuang-buang waktu. Karina maju ke depan menggumamkan
pendapatnya. “Ini virus!” ucapnya lantang. “Virus yang menginfeksi saluran
pernapasan!”
Tak
ada dokter yang memberi sahutan.
“Ini virus berbahaya. Kita harus melaporkannya
pada—“
“Tidak,”
ucapannya dipotong. “Gejala yang ditunjukkan umum. Secara keseluruhan gadis ini
sehat. Paling tidak hanya demam ringan dan gangguan pernapasan. Berikan saja
resepnya dan selesaikan.”
“Tidak
bisa begitu, Dok. Saya percaya ini merupakan kasus berbeda dari yang pernah
kita tangani. Virus ini berbahaya dan apabila salah langkah akibatnya bisa
fatal.”
“Dokter
Karina! Bukan anda yang bisa menentukan suatu penyakit berbahaya atau tidak.
Anda bukan ilmuan, bertindaklah sebagaimana seharusnya seorang dokter.”
“Tapi—“
Satu
per satu dokter meninggalakan ruangannya. “Lakukanlah sendiri,” kata mereka.
Karina
berada di keadaan yang memaksanya untuk menyerah. Seolah gravitasi menarik
bukan hanya tubuhnya tapi sampai ke alam bawah sadarnya. Namun di satu sisi,
hasratnya untuk tetap bertahan tak kalah besar dari radiasi negatif yang sudah
mengawang di sekelilingnya. Apalagi dengan melihat ekspresi getir ibu dari
gadis kecil itu, bagaimana bisa ia melepaskan tanggung jawab ini begitu saja?
Karina
membuat keputusan.
Bertaruh
pada do’a dan pengalaman, Karina melakukan semua yang ia bisa sampai batas
kemampuannya.
Namun
naas, gadis itu dinyatakan meninggal satu minggu setelahnya. Wali pasien
menuntut pihak rumah sakit atas insiden yang terjadi. Ibu dan ayah gadis itu
mengancam ganti rugi atau akan membongkar kisahnya ke media massa.
Karina
dipanggil oleh Direktur rumah sakit.
Tak
ragu-ragu, ia segera menerangkan spekulasinya sesaat setelah dipersilahkan
duduk, “Gadis itu mengidap penyakit berbahaya. Infeksi sistem pernapasan yang
disebabkan oleh virus yang serupa dengan SARS, yang pernah terjadi di tahun
2012. Gejalanya mirip, namun yang membedakan adalah bentuk virusnya. Yang satu
ini berbentuk mirip mahkota. Saya menamakannya, virus corona. Nama sementara. Saya telah mencatutkan semuanya dalam
jurnal, mohon bapak baca jurnal yang telah saya teliti terkait penyakit
tersebut. Kematian gadis itu disebabkan oleh virus yang menggerogoti hampir
separuh paru-parunya, menyebabkan ia kesulitan bernapas.”
“Saya
mohon, sebar luaskan perihal virus ini pada masyarakat. Virus ini mampu menular
dalam jangka waktu yang singkat.”
“Menyebarluaskan,
kata anda?” ulang Direktur.
Karina
mengangguk.
“Dokter,
maaf, tapi persoalan ini takkan sampai kemana-mana.”
“Eh?”
Karina tercengang.
“Ini
hanya diantara kita saja, tapi bagi saya penyakit ini tidak berbahaya sama
sekali. Saya sudah melihat catatan yang lebih dulu sampai dan saya tidak
melihat adanya keanehan. Kematian gadis itu kemungkinan besar karena faktor
yang lain. Bisa jadi karena kelemahan antibodi atau kesalahan pada pengobatan.”
“Kesalahan
pengobatan? Maksud anda..”
“Ya.
Bisa saja anda yang membuatnya seperti itu.”
“Pak
Direktur, itu tidak benar. Saya tidak mungkin—“
“Terima
kasih atas kerja keras anda selama ini, Dokter Karina. Saya mengharagai upaya
anda berjuang menyelamatkan nyawa gadis itu. Tapi haruslah anda tahu, dokter
bukan Tuhan. Kita punya batas atas kemampuan kita. Menambah usia manusia tidak
termasuk di dalamnya. Harusnya anda lebih bijak dalam mambuat keputusan. Kalau
saja anda mengikuti saran rekan-rekan yang lain pada saat itu barangkali
hasilnya akan berbeda. Tapi ya, bagaimanapun semua sudah terjadi. Harus ada
yang bertanggung jawab atas semuanya. Sekali lagi, terima kasih sudah berjuang,
Dokter Karina.”
Penglihatan
Karina menghitam.
***
Karina membuka matanya perlahan-lahan. Langit
masih gelap, tapi hujan sudah mereda sedikit demi sedikit. Kepalanya menjadi
pusing memikirkan kisah-kisah lama. Padahal selama di bui ia sudah bertekad
untuk tidak lagi mengingat-ingatnya.
Sudah
2 jam ia menunggu dan tak ada apapun yang datang. Sepertinya memang tak ada
yang ditunggunya sejak awal. Ia beranjak dari tempat itu, lantas mencari
kendaraan umum pergi menjauh entah kemana.
Namun
ternyata dugaannya salah. Di ujung jalan berdiri seorang pria yang sangat ia
kenali bahkan setelah 10 bulan lamanya hanya dari postur tubuh bagian
belakangnya saja. Sesaat setelah melihat Karina pria itu berderap.
Ia
berlari menembus hujan menuju ke arah Karina yang terlihat lusuh dan rapuh.
“Harusnya
aku datang lebih cepat. Harusnya aku disana saat semua orang berbondong-bondong
mencomoohmu. Sekarang mereka melihatnya sendiri. Virus itu nyata. Dan kamu
selama ini berkata kebenaran. Maaf karena telah menyia-nyiakan perjuanganmu,
Dokter Karina. Maaf karena tidak mendengarkanmu. Tolong maafkan aku.”
“Sekarang,
maukah kau pulang?”
BIODATA
PENULIS
Nama
: Ghumai Namira Afda
Alamat : Villa Malina Indah, Jl. Permata Hijau No. 16. Medan
Email : ghumainamira02@gmail.com
Keterngan : Juara 3 Lomba Cerpen Nasional
Congrats
Editor: Alda Putri Indah Nilawati
Thanks to all partisipant