Jumat, 04 Desember 2020

JUARA 3 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)

 

KARINA

Karya: Ghumai Namira


Hentakan kakinya halus namun lelet. Badannya gontai mengikuti langkah yang memaksanya terus maju sampai menyentuh pintu keluar bangunan lembab ini.

Di luar hujan. Orang-orang membuka payung mereka lebar-lebar, berjalan lurus menepis tetesan air yang menyiprat ke kulit dan alas kaki.

            Wanita itu mengecek lagi barang-barang dalam tas yang ia tenteng. Pakaian, buku catatan, kartu tanda penduduk, dan beberapa perintilan tak penting lainnya. “Sudah semua,” pikirnya.

            Hujan semakin deras. Mulanya hanya sepertiga tanah yang basah, sekarang airnya sampai bersibaran di dekat telapak kakinya, kendati wanita itu telah berada di tempat beratap. Langit sudah gelap padahal masih tengah hari. Sembari menunggu hujan reda, ia juga menunggu seseorang. Entah siapa yang ditunggunya, namun wanita itu tetap bersimpuh disana. Menunggu seseorang atau barangkali sesuatu, datang padanya.

            Bangunan ini, yang tinggi pondasinya, kukuh ruas-ruasnya, dan menjulang ke langit gerbang utamanya, adalah tempat yang tidak pernah ia harapkan akan dikunjungi sepanjang hidupnya. Tidak sebagai tahanan. Namun sekarang wanita itu justru keluar dari sana setelah mengendap 10 bulan lamanya mengenakan baju oranye yang familiar di halaman utama koran atau tabloid.

            10 bulan yang lalu wanita itu merupakan seorang dokter spesialis anak yang bekerja di sebuah rumah sakit tersohor di pusat kota dengan impresi positif dari banyak orang. 10 bulan yang lalu wanita itu masih menjalin hubungan romantis dengan kekasih sesama dokternya yang kini telah raib batang hidungnya. 10 bulan lalu, hidup berjalan sesuai keinginannya. Sekarang, rumah untuk pulang pun ia tak punya. Teman untuk berbagi sudah menjauh. Tak ada yang tersisa untuk wanita itu. Hanya tinggal luka dan cerita 10 bulan silam yang tak bisa dihapus sebagaimana tulisan di papan tulis.

            Ingatannya melayang ke masa-masa sebelum segala sesuatunya berubah kelam.

***

            “Kalau lulus seleksi berikutnya kamu bisa saya promosikan langsung ke direktur rumah sakit untuk ambil kursi kosong di bidang spesialis anak kelas satu.” Sambil mengaduk-aduk teh manisnya, pria yang sudah beruban sempurna rambutnya itu bicara tanpa melihat wajah Karina.

            “Saya sudah gagal satu kali. Sulit untuk mengejar posisi itu bila dari awal sudah menunjukkan prospek yang buruk.”

            Pria itu menggelengkan kepala kencang-kencang. “Jangan bilang seperti itu. Dunia medis tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami menerima mereka yang berjuang tanpa pamrih, yang mengabdi pada kelangsungan hidup manusia tanpa menengok imbalan, dan kamu memenuhi dua kriteria itu.”

            Karina tersenyum lembut mendengarnya. Seperti obat, ucapan pria itu sedikit banyaknya mengobati cedera hati yang disebabkan kegagalannya.

            Ada rumor beredar, dokter yang terpilih pada seleksi rekrutmen tenaga kerja medis pelopor Rumah Sakit Cemara Asri semuanya sudah diatur sejak awal. Artinya ada udang dibalik batu. Rumor lain juga menyebutkan tahun ini penyeleksian sepenuhnya ditata lewat uang dan koneksi. Siapa yang memiliki afiliasi, dia yang dapat.

Karina bisa melihatnya dengan jelas. Alasan mengapa ia gagal memperoleh kesempatan tersebut. Alasan mnegapa pihak manajemen meloloskan 3 dari 7 dokter berinterpretasi dibawah standar yang sama sekali tak memiliki keistimewaan apalagi bakat. Semua bisa melihatnya dengan mata telanjang.

            Karina menunggu setahun lamanya untuk kembali ke tempat itu lagi dalam rangka membuktikan sesuatu. Apakah prasangkanya selama ini hanyalah sebatas prasangka.

            Dokter yang berada di hadapannya masih sama dengan tahun lalu. Pria yang menawarkannya promosi juga duduk disana, mengelus-elus rekam akademiknya dengan tangan bersarung kain. Tiga diantaranya Karina kenal dengan baik. Merekalah saksi kegagalannya mengenyam julukan dokter spesialis 12 bulan lalu.

            “Baiklah. Kami telah melihat ketekunan anda dan kami mengaku sangat tertarik usai melihat catatan akademik anda. Anda berbakat, harus diakui. Tidak ada jawaban yang melantur, semua berimplikasi dengan prospek tenaga medis. Ditambah dedikasi anda yang besar membuat kami yakin sekali anda merupakan sosok yang bertanggung jawab dan berintegritas. Oleh sebab itu, kami harap anda menemukan tempat yang cocok di masa depan. Terima kasih.”

            Sialan. Bahkan jawaban yang diberikan tak jauh beda dengan tahun kemarin.

            Namun itu tak membuat Karina berlarut-larut dalam lara. Toh hal serupa pernah terjadi padanya. Terlebih, sebelum menginjak ruang interview wanita itu sudah memperkirakan kemungkinan-kemungkinan paling pahit, ia bisa melihat apa yang akan terjadi pada akhirnya.

Berhasil membuktikan prasangkanya selama ini, membuatnya puas.

***

           

            Tak butuh waktu lama, Karina mencoba penyeleksian di tiga rumah sakit berbeda. Rumah sakit dengan mutu pelayanan paling baik di kelasnya berbasis kepuasan pasien, ia mengincar rumah sakit dengan perspektif jelas. Dan berniat mengabdikan dirinya habis-habisan setelah menemukan satu.

            Rumah sakit ketiga ia mendaftar memberi lampu hijau pada Karina. Ia diberi wewenang untuk mengisi bidang spesialis anak persis seperti yang diharapkannya.

Tahun pertamanya sebagai dokter berangsur gemilang. Kebanyakan pasien yang telah ia tangani memberikan kesan dan catatan positif, baik dari aspek kepribadian maupun penalangan. Dalam dua tahun Karina berhasil meraih posisi spesial. Gajinya meningkat tiap temponya dan direktur rumah sakit nampak yakin sekali padanya.

            Sepanjang perjalanan karirnya menjadi dokter, Karina telah bergumul dengan macam-macam penyakit anak dimulai dari demam, diare, ISPA, lambung sampai kelainan kulit. Karina semaksimal mungkin mengobati pasiennya secara adil tanpa memandang status sosial maupun latar belakang.

            Banyak hal terjadi, pengalaman menambah pengetahuan, bahkan tak jarang diselingi cerita lucu. Dari anak penderita ISPA yang bergidik ngeri melihat jarum suntik, bocah laki-laki dari negara berbeda muntah di lift rumah sakit disebabkan bau infus yang menguar, anak perempuan kenalannya trauma pada jas putih panjang dan stetoskop, sampai anak pengidap asma yang tak bisa menelan obat pil.

             Reaksi berbeda-beda datang mengetuk pintu ruangannya, namun setelah segalanya berakhir anak-anak itu akan pulang dengan wajah sumringah sambil berkata, “Terima kasih, Dokter.”

***

            Seorang dokter baru datang mengisi ruangan di sebelah Karina. Sudah satu tahun sejak ruangan itu kosong usai ditinggalkan Dokter Valerie yang mengambil pensiun dini. Kini seorang pria bernama Hanif mengambil alih posisinya sebagai dokter spesialis mata.

Hanif merupakan sosok yang sopan dan tekun. Bersamanya Karina merasa bisa menumpahkan semua isi kepalanya sekalipun itu mengerikan dan menjijikkan. Status rekan berubah menjadi pasangan setelah 7 bulan saling mengenal. Usai jam kerja mereka membuat janji temu di toko donat seberang rumah sakit. Sebagaimana hubungan yang baik merupakan hubungan yang tertutup, keduanya sebisa mungkin menjaga privasi keduanya di hadapan rekan tenaga medis lainnya.

***

            Desember datang melumat bulan sebelumnya. Desember, 10 bulan yang lalu. Bulan dimana peristiwa tak terduga membesuk pintu ruangan Karina. Menguras habis semua yang ia miliki dalam hidup. Mendadak dan tak terduga.

Hari itu cerah. Matahari menyembul dari balik awan putih yang berjajar rapi. Angin mendatangkan sejuk, rumah sakit bekerja seperti biasanya. Karina duduk di ruangannya. Sembari menyesap kopi ia mempelajari beberapa dokumen yang diberikan padanya pagi ini.

            Telepon khusus berdering. Panggilan dari meja adminstrasi.

            “Pasien akan segera masuk ke ruangan anda, Dokter,” ujar suara di sambungan telepon.

            “Apakah ada janji?” tanya Karina.

            “Sepertinya tidak.”

            “Kalau begitu izinkan masuk setelah 5 menit.”

            Seorang ibu bersama dengan anaknya yang kelihatan masih duduk di bangku sekolah dasar melewati pintunya. Gadis itu terlihat sehat dari penampilan luarnya, tapi seperti yang Karina pahami banyak penyakit yang tidak menunjukkan gejala fisik.

            Ibu dari pasien muda itu menjelaskan gejala ringan yang di derita putrinya sejak kemarin, seperti demam tinggi, batuk dan napas tak beraturan. Karina meminta gadis itu berbaring di atas kasur. Saat dicek suhu tubuhnya, bisa disimpulkan gadis itu terserang demam ringan. Karina menekan perut gadis itu dengan stetoskop. Dari perut beranjak ke bagian atas tubuh.

            “Ada yang tidak beres.”

            Saat melakukan rontgen sederhana, paru-paru gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Terdapat entitas-entitas tak dikenali yang menembus selnya. Dan itu berbahaya.

Kendati pasiennya terlihat seperti sekadar sakit ringan, tapi di dalam tubuhnya sesuatu yang gawat sedang terjadi.

Karina meminta bantuan atasan dan rekan lainnya untuk menganalisa, berhubung ini kasus yang tidak biasa. Ibu gadis kecil itu berubah tegang saat dokter lain masuk ke ruangan, stetoskop tergantung di leher mereka, raut wajah beralih serius.

“Apa yang terjadi? apa yang terjadi?” hardik Ibu itu cemas.

Dokter yang berkumpul di ruangan Karina tak seorang pun berani menyimpulkan. Hipotesis-hipotesis abstrak diajukan tapi tak satupun yang merujuk dengan tepat.

Aneh, batin Karina.

Bergulat dengan teori hanya membuang-buang waktu. Karina maju ke depan menggumamkan pendapatnya. “Ini virus!” ucapnya lantang. “Virus yang menginfeksi saluran pernapasan!”

Tak ada dokter yang memberi sahutan.

 “Ini virus berbahaya. Kita harus melaporkannya pada—“

“Tidak,” ucapannya dipotong. “Gejala yang ditunjukkan umum. Secara keseluruhan gadis ini sehat. Paling tidak hanya demam ringan dan gangguan pernapasan. Berikan saja resepnya dan selesaikan.”

“Tidak bisa begitu, Dok. Saya percaya ini merupakan kasus berbeda dari yang pernah kita tangani. Virus ini berbahaya dan apabila salah langkah akibatnya bisa fatal.”

“Dokter Karina! Bukan anda yang bisa menentukan suatu penyakit berbahaya atau tidak. Anda bukan ilmuan, bertindaklah sebagaimana seharusnya seorang dokter.”

“Tapi—“

Satu per satu dokter meninggalakan ruangannya. “Lakukanlah sendiri,” kata mereka.

Karina berada di keadaan yang memaksanya untuk menyerah. Seolah gravitasi menarik bukan hanya tubuhnya tapi sampai ke alam bawah sadarnya. Namun di satu sisi, hasratnya untuk tetap bertahan tak kalah besar dari radiasi negatif yang sudah mengawang di sekelilingnya. Apalagi dengan melihat ekspresi getir ibu dari gadis kecil itu, bagaimana bisa ia melepaskan tanggung jawab ini begitu saja?

Karina membuat keputusan.

Bertaruh pada do’a dan pengalaman, Karina melakukan semua yang ia bisa sampai batas kemampuannya.

Namun naas, gadis itu dinyatakan meninggal satu minggu setelahnya. Wali pasien menuntut pihak rumah sakit atas insiden yang terjadi. Ibu dan ayah gadis itu mengancam ganti rugi atau akan membongkar kisahnya ke media massa.

Karina dipanggil oleh Direktur rumah sakit.

Tak ragu-ragu, ia segera menerangkan spekulasinya sesaat setelah dipersilahkan duduk, “Gadis itu mengidap penyakit berbahaya. Infeksi sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus yang serupa dengan SARS, yang pernah terjadi di tahun 2012. Gejalanya mirip, namun yang membedakan adalah bentuk virusnya. Yang satu ini berbentuk mirip mahkota. Saya menamakannya, virus corona. Nama sementara. Saya telah mencatutkan semuanya dalam jurnal, mohon bapak baca jurnal yang telah saya teliti terkait penyakit tersebut. Kematian gadis itu disebabkan oleh virus yang menggerogoti hampir separuh paru-parunya, menyebabkan ia kesulitan bernapas.”

“Saya mohon, sebar luaskan perihal virus ini pada masyarakat. Virus ini mampu menular dalam jangka waktu yang singkat.”

“Menyebarluaskan, kata anda?” ulang Direktur.

Karina mengangguk.

“Dokter, maaf, tapi persoalan ini takkan sampai kemana-mana.”

“Eh?” Karina tercengang.

“Ini hanya diantara kita saja, tapi bagi saya penyakit ini tidak berbahaya sama sekali. Saya sudah melihat catatan yang lebih dulu sampai dan saya tidak melihat adanya keanehan. Kematian gadis itu kemungkinan besar karena faktor yang lain. Bisa jadi karena kelemahan antibodi atau kesalahan pada pengobatan.”

“Kesalahan pengobatan? Maksud anda..”

“Ya. Bisa saja anda yang membuatnya seperti itu.

“Pak Direktur, itu tidak benar. Saya tidak mungkin—“

“Terima kasih atas kerja keras anda selama ini, Dokter Karina. Saya mengharagai upaya anda berjuang menyelamatkan nyawa gadis itu. Tapi haruslah anda tahu, dokter bukan Tuhan. Kita punya batas atas kemampuan kita. Menambah usia manusia tidak termasuk di dalamnya. Harusnya anda lebih bijak dalam mambuat keputusan. Kalau saja anda mengikuti saran rekan-rekan yang lain pada saat itu barangkali hasilnya akan berbeda. Tapi ya, bagaimanapun semua sudah terjadi. Harus ada yang bertanggung jawab atas semuanya. Sekali lagi, terima kasih sudah berjuang, Dokter Karina.”

Penglihatan Karina menghitam.

***

 Karina membuka matanya perlahan-lahan. Langit masih gelap, tapi hujan sudah mereda sedikit demi sedikit. Kepalanya menjadi pusing memikirkan kisah-kisah lama. Padahal selama di bui ia sudah bertekad untuk tidak lagi mengingat-ingatnya.

Sudah 2 jam ia menunggu dan tak ada apapun yang datang. Sepertinya memang tak ada yang ditunggunya sejak awal. Ia beranjak dari tempat itu, lantas mencari kendaraan umum pergi menjauh entah kemana.

Namun ternyata dugaannya salah. Di ujung jalan berdiri seorang pria yang sangat ia kenali bahkan setelah 10 bulan lamanya hanya dari postur tubuh bagian belakangnya saja. Sesaat setelah melihat Karina pria itu berderap.

Ia berlari menembus hujan menuju ke arah Karina yang terlihat lusuh dan rapuh.

“Harusnya aku datang lebih cepat. Harusnya aku disana saat semua orang berbondong-bondong mencomoohmu. Sekarang mereka melihatnya sendiri. Virus itu nyata. Dan kamu selama ini berkata kebenaran. Maaf karena telah menyia-nyiakan perjuanganmu, Dokter Karina. Maaf karena tidak mendengarkanmu. Tolong maafkan aku.”

“Sekarang, maukah kau pulang?”

 

 

BIODATA PENULIS


Nama : Ghumai Namira Afda
Alamat : Villa Malina Indah, Jl. Permata Hijau No. 16. Medan
Email :
ghumainamira02@gmail.com


Keterngan : Juara 3 Lomba Cerpen Nasional 

Congrats

Editor: Alda Putri Indah Nilawati

Thanks to all partisipant


Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar