DI ATAS MOTOR BAPAK
Karya:
Wimar Nurkholipah
“Bapak! Besok berangkat lebih pagi lagi ya,” rengekku
selepas pulang sekolah.
“Lah, memangnya kenapa toh?” tanya Bapak yang sedang
menonton tv.
“Tadi pagi aku dihukum, disuruh lari muterin lapangan
basket, gara-gara telat satu menit!” protes ku setelah meneguk air putih yang
kuambil dari kulkas.
“Yah. Tidak apalah, sekali-kali olahraga pagi. Makannya
kalau bangun pagi-pagi.” Jawab Bapak dengan sedikit kekehannya.
Mendengar respon seperti itu, aku langsung melengos ke
kamar. Bukannya meminta maaf, Bapak justru menyalahkan diriku. Seingatku, aku
bangun bahkan lebih awal dari Bapak, aku juga melihat Ibu yang pergi membeli makanan
untuk sarapan.
Setiap pagi-pagi sekali, Setelah azan subuh, Ibu selalu
bersiap untuk membeli makanan. Tempat penjual makanan yang biasa Ibu datangi
selalu ramai jika matahari sudah terbit, untuk itu Ibu selalu bersiap membeli
makanan sebelum matahari terbit.
Biasanya, setelah membeli makanan, Ibu langsung membangunkanku
untuk berangkat sekolah, tapi pagi tadi, aku sudah bersiap-siap untuk mandi,
bahkan menyapa Ibu yang sudah membuka pintu untuk pergi.
Aku sengaja mengeluh akan hal kecil seperti itu kepada
Bapak, karena hanya dengan begitu, aku memiliki kesempatan untuk mengobrol
dengan Bapak meski harus diawali dengan berantem kecil.
Bapak adalah orang yang tidak suka mengobrol dengan anak-anaknya,
kecuali anaknya memulai dulu untuk bicara. Bapak bukan orang yang perhatian
bahkan cenderung kaku. Tapi bagiku, Bapak adalah orang pertama yang selalu
mendukungku.
***
Tentang kejadian dua tahun lalu, yang membuatku sangat
kecewa. Ketika aku tidak memiliki harapan untuk melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di negeri, karena saat itu nilai ujianku tidak memenuhi syarat untuk
masuk ke sekolah negeri. Kecewa sudah pasti.
“Tidak apa-apa,
kamu sudah berjuang keras, semuanya sudah terlanjur, tidak perlu ditangisin.” ucap
Bapak dengan tenang kala itu.
Kala itu, aku pulang dari pengambilan nilai ujian bersama
Ibu di sekolah, aku pulang dengan wajah yang murung dan dengan mata yang
sembab. Bapak yang melihat pun bertanya-tanya, tapi aku hanya diam, kemudian Ibu
menceritakan semua yang terjadi.
Dua hari berselang, tiba-tiba Bapak masuk ke kamarku dan
mengajakku keluar. Bapak mengajakku keluar tanpa memberitahu akan kemana, Bapak
hanya menyuruhku untuk bersiap-siap.
“Kita mau kemana sih Pak?” tanyaku yang sudah siap dan
berdiri di samping motor Bapak.
“Sudah ikut saja.” Jawab Bapak singkat sambil memberikan
helm kepadaku.
Entahlah, aku hanya bisa membuntut saja kalau sudah begitu.
Diatas motor, Bapak menyetir dengan kecepatan sedang.
Tiba-tiba motor Bapak berhenti, di tempat yang tidak
asing bagiku. Tempat yang biasa Bapak kunjungi, tempat dimana Bapak setiap hari
mencari nafkah. Yah, kami sampai di kantor Bapak, dengan motor yang sudah
terparkir di halaman kantor. Bapak
mengajakku masuk, menyuruhku untuk menunggu sebentar.
Selang beberapa jam, Bapak keluar dari ruang kerja, lalu
mengajakku untuk pergi kembali. Aku masih terdiam bahkan enggan untuk
menanyakan kemana Bapak akan membawaku pergi. Yang ada dipikiranku hanya rasa
bersalah setiap kali aku melihat Bapak atau Ibu.
Sekarang motor Bapak yang bermerek SupraX 125 keluaran
tahun 2005, sudah terparkir kembali di tempat yang berbeda. Bapak mengajakku ke
tampat makan yang berjejer di jalan raya, ke tempat makan favoritku, yaitu: Sega Jamblang.
Setelah turun dari
motor, kami duduk di tempat makan yang seperti angkringan tersebut, dan memesan
beberapa menu makanan.
Sambil makan, Bapak mulai menanyakan tentang sekolahku.
Bingung, sedih dan merasa bersalah aku ditanya seperti itu, aku hanya diam
dengan mencoba menahan air mataku yang akan keluar.
“Kamu tidak perlu merasa bersalah, Bapak tidak peduli
jika kamu harus sekolah di swasta. Sekolah mah dimana aja, yang penting
kitanya, niat kitanya. Bapak tidak peduli nilai kamu ndok, itu usaha kamu, kamu sudah berusaha yang terbaik,” titah
Bapak, yang seperti tahu isi kepalaku.
“Kata Ibu, kamu mau ke MAN?” tanya Bapak sambil melahap
makanannya.
“Iya Pak, tapi di MAN biayanya mahal, mending buat
kuliah. Aku sudah mutusin buat ke swasta aja Pak.” Jawabku asal.
“Kalau kamu mau ke MAN juga tidak apa. Masalah biaya biar
Bapak yang pikirkan, kamu fokus sekolah saja, dari pada nanti nyesel.” Jawab
Bapak, dengan tetap melahap makanan tanpa menoleh ke arahku.
Aku tetap menolak tawaran Bapak, mana mungkin aku egois,
padahal disisi lain Bapak harus keluar banyak uang untuk kakakku yang kuliah di
swasta dan keperluan adikku yang baru saja berumur satu tahun.
Sambil menghabiskan makanan. Sore itu, tiba-tiba saja Bapak
menceritakan tentang dirinya, tentang niatnya untuk mengikuti seleksi PNS.
Meskipun banyak orang yang mengatakan tidak mungkin, tapi Bapak yakin akan
pilihan Bapak.
Kala itu,
pembukaan lowongan PNS. Dengan modal ijazah sekolah dasar Bapak mendaftarkan
diri, Bapak tidak tahu apakah dirinya akan diterima, tapi Bapak tetap
mendaftar, karena niat yang kuat Bapak untuk mengubah nasib keluarganya,
meskipun dilain sisi banyak orang yang meremehkan Bapak.
Bapak hanya memiliki ijazah sekolah dasar. Bapak memilih
tidak melanjutkan sekolah, karena ingin membantu orang tuanya di sawah dan
membiayai keenam adiknya.
Beberapa hari
kemudian, Bapak dinyatakan lulus seleksi, hal yang semua orang bilang tidak
mungkin. Dengan terburu-buru Bapak menyiapkan berkas yang diperlukan untuk
registrasi, karena pengumuman itu diketahui bersamaan dengan registrasi yang
akan ditutup tiga jam lagi.
Keterbatasan biaya pun harus Bapak pikirkan, dan mau
tidak mau Bapak harus menjual sarung yang baru saja dibelikan oleh Ibunya. Lalu
uang itu digunakan untuk keperluan registrasi dan ongkos ke kantor pusat. Bapak
terpaksa naik angkutan umum karena waktu yang tidak cukup.
Sesampainya
disana, Bapak harus menerima perlakuan buruk mereka, mereka murka kepada Bapak
karena datang terlalu mepet waktu penutupan. Tapi, yang Bapak lakukan hanya
menerima dan meminta maaf, meski itu bukan sepenuhnya salah Bapak.
“Esensi dari cerita Bapak bukan tentang Bapak
diterimanya, tetapi tentang tekad dan yakin akan pilihan kita. Bapak harap kamu
juga begitu, tidak perlu takut, yang terpenting kamu punya pendirian dan yakin atas apapun pilihanmu. Soal biaya
itu jadi urusan Bapak, selama Bapak mampu, Bapak akan usahain biaya sekolah
kamu.” Terang Bapak diakhir ceritanya.
Dari cerita Bapak yang
panjang itu, aku mendapatkan motivasi dan semangat baru, aku pun bilang ke
Bapak tentang niatku yang akan mencoba mendaftar di SMA yang guruku
rekomendasikan.
Sebenarnya aku tidak
tahu sekolah itu dimana, nama sekolahnya saja cukup asing bagiku, meski begitu,
guruku mengatakan bahwa banyak alumni yang masuk ke sekolah itu.
Bapak pun mengerti dan hanya menganggukan
rencanaku. Dan obrolan panjang kami ini harus berakhir, karena malam sudah
menampakkan diri, bersamaan dengan itu, aku langsung bergegas menghabiskan
makananku.
Sore yang singkat itu terasa panjang. Kami
menghabiskan waktu dengan baik. Kini aku dan Bapak sudah meninggalkan tempat
makan tersebut, diatas motor Bapak, didalam hati, aku berjanji akan terus
berusaha dan belajar memutuskan pilihan dalam hidup, serta yakin dengan apapun
itu impian-impian yang aku punya sekalipun itu akan sulit.
****
Aku yang sedang mengerjakan tugas di
kamar, dikagetkan dengan Bapak yang datang tiba-tiba.
“Ada stabilo tidak ndok ?” tanya Bapak.
“Ada. nih Pak.” Ucapku sambil memberikan
stabilo yang kebetulan sedang kugunakan.
“Terus jangan lupa
mandi! Anak cewek males banget!” kesal Bapak, yang hanya ditanggapi dengan
anggukan olehku.
Setelah mendapatkan
stabilo dan mengingatkanku untuk mandi, Bapak pergi keluar. Tapi, tiba-tiba
saja Bapak berhenti didepan pintu kamar, “Oh iya, buat besok, Bapak harus bangun
jam berapa?” tanya Bapak.
“Pokoknya harus pagi!”
jawabku yang menekan kata pagi, dan hanya dianggukan oleh Bapak, lalu
benar-benar pergi meninggalkan kamarku.
Cirebon, 22 November 2020
BIODATA PENULIS
Wimar Nurkholipah merupakan Mahasiswi aktif Universitas
Negeri Semarang, lahir pada tanggal 04 November 2000 di Cirebon-Jawa Barat.
Beralamat Gempol Utara RT/RW 02/01 Kec. Gempol Kab. Cirebon. Selain menulis
cerpen ia pun menulis essay. Ia pernah menjadi juara 2 essay tingkat nasional.
Jejak dapat ditemukan di akun instagram @wnn2000_ dan akun facebook Wimar
Nurkholipah.
Keterangan Juara 1 Lomba Cerpen Nasional
Congratulations
Editor by: Alda Putri Indah Nilawati
Thanks to all participants
0 komentar:
Posting Komentar