Jumat, 04 Desember 2020

JUARA 1 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)

 

DI ATAS MOTOR BAPAK

Karya: Wimar Nurkholipah

  

“Bapak! Besok berangkat lebih pagi lagi ya,” rengekku selepas pulang sekolah.

“Lah, memangnya kenapa toh?” tanya Bapak yang sedang menonton tv.

“Tadi pagi aku dihukum, disuruh lari muterin lapangan basket, gara-gara telat satu menit!” protes ku setelah meneguk air putih yang kuambil dari kulkas.

“Yah. Tidak apalah, sekali-kali olahraga pagi. Makannya kalau bangun pagi-pagi.” Jawab Bapak dengan sedikit kekehannya.

Mendengar respon seperti itu, aku langsung melengos ke kamar. Bukannya meminta maaf, Bapak justru menyalahkan diriku. Seingatku, aku bangun bahkan lebih awal dari Bapak, aku juga melihat Ibu yang pergi membeli makanan untuk sarapan.

Setiap pagi-pagi sekali, Setelah azan subuh, Ibu selalu bersiap untuk membeli makanan. Tempat penjual makanan yang biasa Ibu datangi selalu ramai jika matahari sudah terbit, untuk itu Ibu selalu bersiap membeli makanan sebelum matahari terbit.

Biasanya, setelah membeli makanan, Ibu langsung membangunkanku untuk berangkat sekolah, tapi pagi tadi, aku sudah bersiap-siap untuk mandi, bahkan menyapa Ibu yang sudah membuka pintu untuk pergi.

Aku sengaja mengeluh akan hal kecil seperti itu kepada Bapak, karena hanya dengan begitu, aku memiliki kesempatan untuk mengobrol dengan Bapak meski harus diawali dengan berantem kecil.

Bapak adalah orang yang tidak suka mengobrol dengan anak-anaknya, kecuali anaknya memulai dulu untuk bicara. Bapak bukan orang yang perhatian bahkan cenderung kaku. Tapi bagiku, Bapak adalah orang pertama yang selalu mendukungku.

***

Tentang kejadian dua tahun lalu, yang membuatku sangat kecewa. Ketika aku tidak memiliki harapan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di negeri, karena saat itu nilai ujianku tidak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah negeri. Kecewa sudah pasti.

 “Tidak apa-apa, kamu sudah berjuang keras, semuanya sudah terlanjur, tidak perlu ditangisin.” ucap Bapak dengan tenang kala itu.

Kala itu, aku pulang dari pengambilan nilai ujian bersama Ibu di sekolah, aku pulang dengan wajah yang murung dan dengan mata yang sembab. Bapak yang melihat pun bertanya-tanya, tapi aku hanya diam, kemudian Ibu menceritakan semua yang terjadi.

Dua hari berselang, tiba-tiba Bapak masuk ke kamarku dan mengajakku keluar. Bapak mengajakku keluar tanpa memberitahu akan kemana, Bapak hanya menyuruhku untuk bersiap-siap.

“Kita mau kemana sih Pak?” tanyaku yang sudah siap dan berdiri di samping motor Bapak.

“Sudah ikut saja.” Jawab Bapak singkat sambil memberikan helm kepadaku.

Entahlah, aku hanya bisa membuntut saja kalau sudah begitu. Diatas motor, Bapak menyetir dengan kecepatan sedang.

Tiba-tiba motor Bapak berhenti, di tempat yang tidak asing bagiku. Tempat yang biasa Bapak kunjungi, tempat dimana Bapak setiap hari mencari nafkah. Yah, kami sampai di kantor Bapak, dengan motor yang sudah terparkir di halaman kantor.  Bapak mengajakku masuk, menyuruhku untuk menunggu sebentar.

Selang beberapa jam, Bapak keluar dari ruang kerja, lalu mengajakku untuk pergi kembali. Aku masih terdiam bahkan enggan untuk menanyakan kemana Bapak akan membawaku pergi. Yang ada dipikiranku hanya rasa bersalah setiap kali aku melihat Bapak atau Ibu.

Sekarang motor Bapak yang bermerek SupraX 125 keluaran tahun 2005, sudah terparkir kembali di tempat yang berbeda. Bapak mengajakku ke tampat makan yang berjejer di jalan raya, ke tempat makan favoritku, yaitu: Sega Jamblang.

 Setelah turun dari motor, kami duduk di tempat makan yang seperti angkringan tersebut, dan memesan beberapa menu makanan.

Sambil makan, Bapak mulai menanyakan tentang sekolahku. Bingung, sedih dan merasa bersalah aku ditanya seperti itu, aku hanya diam dengan mencoba menahan air mataku yang akan keluar.

“Kamu tidak perlu merasa bersalah, Bapak tidak peduli jika kamu harus sekolah di swasta. Sekolah mah dimana aja, yang penting kitanya, niat kitanya. Bapak tidak peduli nilai kamu ndok, itu usaha kamu, kamu sudah berusaha yang terbaik,” titah Bapak, yang seperti tahu isi kepalaku.

“Kata Ibu, kamu mau ke MAN?” tanya Bapak sambil melahap makanannya.

“Iya Pak, tapi di MAN biayanya mahal, mending buat kuliah. Aku sudah mutusin buat ke swasta aja Pak.” Jawabku asal.

“Kalau kamu mau ke MAN juga tidak apa. Masalah biaya biar Bapak yang pikirkan, kamu fokus sekolah saja, dari pada nanti nyesel.” Jawab Bapak, dengan tetap melahap makanan tanpa menoleh ke arahku.

Aku tetap menolak tawaran Bapak, mana mungkin aku egois, padahal disisi lain Bapak harus keluar banyak uang untuk kakakku yang kuliah di swasta dan keperluan adikku yang baru saja berumur satu tahun.

Sambil menghabiskan makanan. Sore itu, tiba-tiba saja Bapak menceritakan tentang dirinya, tentang niatnya untuk mengikuti seleksi PNS. Meskipun banyak orang yang mengatakan tidak mungkin, tapi Bapak yakin akan pilihan Bapak.

 Kala itu, pembukaan lowongan PNS. Dengan modal ijazah sekolah dasar Bapak mendaftarkan diri, Bapak tidak tahu apakah dirinya akan diterima, tapi Bapak tetap mendaftar, karena niat yang kuat Bapak untuk mengubah nasib keluarganya, meskipun dilain sisi banyak orang yang meremehkan Bapak.

Bapak hanya memiliki ijazah sekolah dasar. Bapak memilih tidak melanjutkan sekolah, karena ingin membantu orang tuanya di sawah dan membiayai keenam adiknya.

 Beberapa hari kemudian, Bapak dinyatakan lulus seleksi, hal yang semua orang bilang tidak mungkin. Dengan terburu-buru Bapak menyiapkan berkas yang diperlukan untuk registrasi, karena pengumuman itu diketahui bersamaan dengan registrasi yang akan ditutup tiga jam lagi.

Keterbatasan biaya pun harus Bapak pikirkan, dan mau tidak mau Bapak harus menjual sarung yang baru saja dibelikan oleh Ibunya. Lalu uang itu digunakan untuk keperluan registrasi dan ongkos ke kantor pusat. Bapak terpaksa naik angkutan umum karena waktu yang tidak cukup.

 Sesampainya disana, Bapak harus menerima perlakuan buruk mereka, mereka murka kepada Bapak karena datang terlalu mepet waktu penutupan. Tapi, yang Bapak lakukan hanya menerima dan meminta maaf, meski itu bukan sepenuhnya salah Bapak.

“Esensi dari cerita Bapak bukan tentang Bapak diterimanya, tetapi tentang tekad dan yakin akan pilihan kita. Bapak harap kamu juga begitu, tidak perlu takut, yang terpenting kamu punya pendirian  dan yakin atas apapun pilihanmu. Soal biaya itu jadi urusan Bapak, selama Bapak mampu, Bapak akan usahain biaya sekolah kamu.” Terang Bapak diakhir ceritanya.

Dari cerita Bapak yang panjang itu, aku mendapatkan motivasi dan semangat baru, aku pun bilang ke Bapak tentang niatku yang akan mencoba mendaftar di SMA yang guruku rekomendasikan.

Sebenarnya aku tidak tahu sekolah itu dimana, nama sekolahnya saja cukup asing bagiku, meski begitu, guruku mengatakan bahwa banyak alumni yang masuk ke sekolah itu.

 Bapak pun mengerti dan hanya menganggukan rencanaku. Dan obrolan panjang kami ini harus berakhir, karena malam sudah menampakkan diri, bersamaan dengan itu, aku langsung bergegas menghabiskan makananku.

 Sore yang singkat itu terasa panjang. Kami menghabiskan waktu dengan baik. Kini aku dan Bapak sudah meninggalkan tempat makan tersebut, diatas motor Bapak, didalam hati, aku berjanji akan terus berusaha dan belajar memutuskan pilihan dalam hidup, serta yakin dengan apapun itu impian-impian yang aku punya sekalipun itu akan sulit.

****

Aku yang sedang mengerjakan tugas di kamar, dikagetkan dengan Bapak yang datang tiba-tiba.

“Ada stabilo tidak ndok ?” tanya Bapak.

 “Ada. nih Pak.” Ucapku sambil memberikan stabilo yang kebetulan sedang kugunakan.

“Terus jangan lupa mandi! Anak cewek males banget!” kesal Bapak, yang hanya ditanggapi dengan anggukan olehku.

Setelah mendapatkan stabilo dan mengingatkanku untuk mandi, Bapak pergi keluar. Tapi, tiba-tiba saja Bapak berhenti didepan pintu kamar, “Oh iya, buat besok, Bapak harus bangun jam berapa?” tanya Bapak.

“Pokoknya harus pagi!” jawabku yang menekan kata pagi, dan hanya dianggukan oleh Bapak, lalu benar-benar pergi meninggalkan kamarku.

Cirebon, 22 November 2020


BIODATA PENULIS

Wimar Nurkholipah merupakan Mahasiswi aktif Universitas Negeri Semarang, lahir pada tanggal 04 November 2000 di Cirebon-Jawa Barat. Beralamat Gempol Utara RT/RW 02/01 Kec. Gempol Kab. Cirebon. Selain menulis cerpen ia pun menulis essay. Ia pernah menjadi juara 2 essay tingkat nasional. Jejak dapat ditemukan di akun instagram @wnn2000_ dan akun facebook Wimar Nurkholipah.


Keterangan Juara 1 Lomba Cerpen Nasional 

Congratulations

Editor by: Alda Putri Indah Nilawati

Thanks to all participants

 

0 komentar:

Posting Komentar