Tik Tok Tik Tok
Detakan
waktu itu terdengar jauh lebih mendebarkan ketimbang menunggu lamanya
pengumuman ujian. Pada tengah malam, suara apapun yang biasanya kabur di
pendengaran, kini malah nyaris tertangkap dengar dengan jelas. Suara jam
dinding, suara angin yang menggoyang ranting, kemudian jatuh ranting itu menabrak
tanah, bahkan suara-suara aneh dari luar rumah lainnya yang membuat bergidik
bulu roma. Padahal, suara-suara aneh itu barangkali secara alamiah memang
begitu adanya dan memang akan ada, di jam-jam ketika manusia beristirahat,
sementara makhluk lain mengambil bagian dan berperan dengan leluasa di ruang
yang lengang akan aktivitas manusia.
Lebih
dekat menelisik ke area perkampungan yang sudah tak nampak aktivitas manusia di
dalamnya. Pada menit ke lima belas
menuju tepat pukul dua malam, orang-orang sedang beristirahat mengisi ulang energinya
untuk esok hari. Satu dari ratusan penduduk itu, ternyata ada seorang wanita
paruh baya yang duduk di ruang tengah, mengamati suatu pintu di ruang tamu.
Maklum, rumah bergaya khas Jawa yang memanjang ini tata ruang antara ruang
tengah dengan ruang tamunya tiada sekat. Sang wanita paruh baya dengan kursi
rodanya itu masih tetap setia berada di ruang tengah. Entah kenapa pintu utama
itu begitu menarik baginya. Dalam pikirnya, ia sebenarnya tengah menanti
beberapa ketukan dari luar, sehingga ia pun tahu siapakah gerangan yang datang.
Entah itu dikenal atau bahkan tidak ia kenal. Ia merasa tak peduli. Ia hanya
menanti satu ketukan saja, sehingga harapannya sedikit saja bisa jadi sebuah
realita.
“Ibu.”
seru seorang wanita yang lebih muda itu kepada sang wanita paruh baya.
“Ayo
Bu kita ke kamar. Ini sudah mau jam dua, dan Ibu harus istirahat sekarang juga.”
Pinta sang anak. Ibu tak merespon perkataannya, hanya diam saja, sembari tetap
melihat pintu itu dengan seksama.
“Meisa
akan bawa Ibu ke kamar yah. Ini sudah larut malam, Bu.” Sang anak yang ternyata
bernama Meisa itu kemudian perlahan mulai mendorong kursi roda Ibunya. Namun, Ibu
tetap diam saja. Tidak tampak raut penolakan atau pun penerimaan. Hal itu
membuat Meisa sedikit khawatir. Ibunya tidak bicara lagi malam ini. Sama
seperti malam-malam sebelumnya, Ibunya selalu bangun pada sekitar jam satu
sampai dua malam, hanya untuk berdiam diri di ruang tengah. Melakukan hal yang
sama setiap malamnya, mengamati pintu utama dengan begitu seksama. Kadang Meisa
sedikit tak menyangka, Ibunya mampu meletakkan tubuhnya dengan tepat di atas
kursi rodanya sendiri. Padahal, biasanya Ibu perlu bantuan orang lain untuk
duduk di kursi rodanya itu.
Andai seseorang
bisa memindahkan pintu itu dari rumah kami. Ibu tak akan terus-terusan begini,
batin Meisa dalam hati.
“Berhenti
Meisa.” Ucap Ibu tiba-tiba, sebelum sempat memasuki kamarnya.
“Kenapa
Bu?” tanya Meisa. Ia begitu lega akhirnya Ibu mau bicara lagi.
“Ibu
harus tetap di sana supaya ketukan pintu itu dapat terdengar oleh Ibu. Kalau
Ibu di kamar, nanti bakal ketiduran dan Ibu malah tidak mendengar ketukan pintu
itu. Nanti siapa yang mau membukakan pintu? Kamu?”
Apa
yang diucapkan Ibu sedikit membuat Meisa terkejut. Bukan lagi terkejut, tapi malah
takut.
“Nanti
Meisa yang akan membukakan pintu Bu. Meisa masih melek kok malam ini. Masih ada tugas kuliah yang mau Meisa
selesaikan.” Jawab Meisa seadanya. Ia harap Ibunya tidak terus menerus terjaga,
menantikan sesuatu yang memang tak lagi ada, sebab semuanya memanglah semu
belaka.
Dengan
hati-hati Meisa memapah Ibu ke kasurnya. Ia baringkan Ibu dengan perlahan lalu
menyelimutinya dengan penuh sayang. Dikecupnya kening Ibu lalu diusapnya
lembut. Meisa tersenyum lega ketika sang Ibu sudah memejamkan mata dan mulai
terlelap. “Meisa janji akan berjuang untuk Ibu. Meisa akan cari kerja ya Bu.” Lirih
Meisa. Meisa pun tersenyum kembali, lalu lekas keluar kamar Ibunya dan menuju
kamarnya sendiri. Ia berbohong pada Ibu. Ia tidak sedang mengerjakan tugas
kuliah sebenarnya. Itu hanya alibi agar Ibu mau segera tidur dan meninggalkan
ruang tengah dengan segala harapnya. Meisa hanya perlu untuk tidur, dan besok
kebohongannya sudah tidak tercium lagi aromanya.
TOK
TOK TOK TOK
Suara
ketukan pintu itu membuat Meisa terbangun.
“Duh
jam berapa sih ini?” keluh Meisa sambil memungut ponsel di meja kamarnya.
Dilihatnya, jam menunjukkan pukul tiga malam. Masih terlalu dini untuk
seseorang berkunjung malam-malam begini. Meisa lantas tak mau menggubrisnya, ia
merasa tak mendengar apa-apa dan bergegas tidur kembali. Benar-benar mengganggu, pikirnya.
TOK
TOK TOK
Ketukan
yang kedua kalinya. Disusul seruan seseorang dari arah luar rumah.
“Bu,
Meisa. Ayah pulang.” Seru orang tersebut beberapa kali, sambil terus mengetuk
pintu rumah itu.
Tak
berapa lama terdengar seseorang dari dalam rumah melangkahkan kaki mendekat ke
arah pintu rumah dan segera saja ia membukanya. Ialah Meisa, sang anak yang
sempat merasa terganggu tidurnya hingga akhirnya ia sadar betul bahwa orang
yang bertamu itu sebenarnya bukanlah tamu, tapi sang Ayah yang memang pulang ke
rumah.
“Ayah.”
ucap Meisa tersenyum girang.
“Makasih,
sayang.” Ucap ayah sambil mengelus kepala Meisa.
Meisa
hanya tersenyum-senyum dibuatnya. Memang Ayah Meisa jika pulang pasti larut malam,
bahkan pernah sampai subuh. Kepulangan Ayah yang begitu larut itu dikarenakan
pekerjaannya yang menuntutnya untuk terus berburu rezeki di tengah hiruk pikuk
kota. Pedagang roti bakar yang menjajakan dagangan di alun-alun kota, dan
sesekali bila sepi, maka terpaksa Ayah harus berkeliling di sekitar kompleks
perumahan, bahkan di beberapa kampung jika perlu. Apabila dagangannya ramai
dibeli orang, maka Ayah akan berjaga sampai tengah malam, kemudian ia akan
pulang paling tidak satu jam setelah rotinya benar-benar habis dan ia sudah
selesai beberes berbagai perlengkapan dengan gerobaknya. Gerobak roti bakarnya
ia letakkan di sebuah warung klontong milik temannya, dekat alun-alun pastinya.
Kadang penitipan gerobak itu sedikit banyak membuat Ayah tak enak hati, maka
sesekali Ayah memberikan sedikit rezekinya sebagai bayaran jasa penitipan
barang, meskipun temannya sebetulnya ikhlas dan tak menginginkan bayaran
tersebut.
Ketika
pulang, Ayah mengendarai motor Shogun lamanya. Bekas peninggalan kakek Meisa.
“Ibumu
sudah baikan atau belum?” tanya Ayah selepas putrinya itu benar-benar sudah
menutup pintu rumahnya.
“Alhamdulillah
yah. Sudah baikan. Tadi Ibu sudah bisa jalan, meskipun tidak begitu lancar.”
Jawab Meisa sambil berjalan ke arah dapur. Ia anak baik, sengaja hendak
membuatkan teh hangat untuk Ayahnya yang baru pulang bekerja. Ayah yang
mengetahuinya, langsung saja menolak.
“Meisa,
tidak perlu kamu buatkan teh buat Ayah. Tadi Ayah sudah ditraktir temen Ayah di
warungnya. Ayah hanya perlu bersih-bersih kemudian istirahat. Ibumu pasti
merindukan Ayah.” Timpal Ayah kepada Meisa.
Meisa
tersenyum geli mendengarkan ucapan terakhir ayahnya. “Ibu tidak pernah sedetikpun
berhenti memikirkan Ayah.” Ujar Meisa, disambut senyum ayahnya yang kemudian
lekas menghilang dibalik pintu kamar mandi rumahnya.
Ibu
Meisa memang sudah seminggu ini menjalani terapi mandiri karena serangan stroke yang menyerang syaraf pada kedua
kakinya. Untuk itu, Ayah dan Meisa benar-benar begitu khawatir kepada Ibu.
“Semalam
kok kamu belum tidur, Sa. Yang membukakan pintu rumah ternyata kamu kan?” tanya
Ibu yang sedang berjalan menuju dapur. Rupanya, pagi itu Ibu ingin membantu
Meisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga.
“Ibu,
duduk yang manis saja di meja makan ya. Nasi gorengnya mau matang ini Bu.”
Timpal Meisa.
“Jawab
pertanyaan Ibu dong, Meisa.” Gertak Ibu.
“Hehe
iya iya Bu. Meisa kan sudah janji untuk bukain pintu buat Ayah tadi malam.”
Kekeh Meisa. “Untungnya sih Meisa bisa bangun.”
“Loh
ternyata kamu ketiduran beneran tadi malam?”
Meisa
hanya terkekeh-kekeh merespon pertanyaan Ibunya itu. Seengaknya ia bisa bangun
karena mendengar Ayahnya mengetuk pintu dan memanggil-manggil namanya.
Pagi
itu, satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Meisa sedang sarapan
bersama. Berbagai canda tawa mereka lontarkan satu sama lain di tengah jeda
makan. Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kuliahnya Meisa, pekerjaan Ayah
dengan pembelinya yang tidak sabaran ketika hendak membeli roti bakar, sampai
pada pembahasan mengenai kondisi Ibu. Semua hal mereka bahas pada pagi hari
itu. Sampai tiba-tiba, suara gedoran dari arah pintu rumah menghentikan obrolan
mereka.
DOR
DOR DOR
Seseorang
berteriak dengan keras dari luar rumah. Meisa dan orang tua nya pun bergegas
keluar rumahnya, mencoba melihat siapa gerangan yang mengacaukan sarapan mereka
saat itu.
“Heh,
kapan kalian mau bayar hutang kalian, hah? Saya juga butuh uang itu tau. Kalian
memang sengaja tidak mau membayarnya, ya?” bentak lelaki tua yang baru
diketahui namanya adalah Pak Somat. Kumis
dan jenggotnya ngeri betul, pikir Meisa.
Ayah
dan Ibu begitu gelagapan menjawab pertanyaan Pak Somat. Memang seharusnya hari
ini adalah hari di mana Ayah dan Ibu membayar hutang mereka. Tetapi, nampaknya
orang tua Meisa masih belum memiliki cukup uang untuk membayar.
“Maaf
Pak Somat, tetapi istri saya masih butuh uang untuk pengobatannya. Jadi, uangnya
masih kami gunakan untuk membiayai pengobatan itu.” Ujar Ayah seadanya. Meisa
dan Ibu hanya terpaku di ambang pintu. Sedikit menangis, Ibu menyeka air
matanya yang keluar begitu saja. Tak menyangka, sakit stroke yang menyerangnya membuat suaminya memiliki masalah karena
hutang guna membayar rumah sakit tempat dirinya menjalankan pengobatan. Meisa
di samping Ibu, mencoba terus menguatkan dan berkata bahwa semuanya akan
baik-baik saja.
“Ayahmu
sudah bekerja dengan keras untuk keluarga ini. Dan Ibu malah membebaninya
dengan penyakit ini.” lirih Ibu kepada Meisa dengan tersedu-sedu.
Meisa
berusaha terus menyabarkan Ibunya. Sedang sang Ayah masih terus bernegosiasi
dengan Pak Somat di sana. Percekcokan mulut benar-benar tak terhindarkan.
Hingga tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, dua orang preman pesuruh Pak Somat
keluar dari balik mobilnya dan meninju Ayah habis-habisan.
“Ini
baru peringatan untuk kau ya. Jika besok, hutang sejumlah dua juta itu belum
juga kau bayarkan, aku tak akan segan-segan menyakiti kedua perempuan yang kau
kasihi itu.” Teriak Pak Somat sambil lalu melirik ke arah Meisa dan Ibunya
berdiri. Meisa dan Ibu menjadi bergidik dibuatnya.
“Ayah..
Ayah tidak apa-apa?” Meisa bergegas membantu Ayahnya berdiri dan menuntunnya
untuk masuk ke dalam rumah.
“Tidak
apa-apa, sayang.” Ucap Ayah.
Ibu
memasang muka teramat sendu. Perasaannya nampak kalut.
“Maafkan
aku ya mas. Aku selalu menambah beban kamu saja.” Kata Ibu dengan dibarengi
tetes air matanya.
Ayah
nampak meringis kesakitan. Tapi, Ayah tidak pernah merasa benar-benar sakit,
meskipun luka lebam semakin membiru menjadi tiga bagian pada area wajahnya.
“Aku
tidak apa-apa. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk terus berjuang menghidupi
keluarga ini. Apalagi kamu sedang sakit. Apapun akan aku lakukan untuk
membuatmu sembuh. Setelah ini aku akan terus berusaha mencari uang untuk
membayar hutangnya Pak Somat.”
“Gunakan
saja uang kau simpan untuk pengobatanku, mas. Berikan pada Pak Somat.”
“Bagaimana
mungkin. Kamu masih butuh ke dokter.”
“Kali
pertama aku ke dokter satu minggu yang lalu itu sudah lebih dari cukup, mas.
Sekarang aku hanya butuh istirahat dan melakukan terapi secara mandiri di
rumah.”
“Tapi,
sayang..”
“Sudahlah
tidak apa mas.”
Meisa
begitu sedih melihat kegalauan kedua orang tuanya. Tak terasa air matanya
tumpah juga.
“Ayah,
Ibu. Meisa juga akan membantu melunasi hutang. Meisa bisa mengambil uang saku
dari beasiswa kuliahnya Meisa. Sedikit-sedikit Meisa juga sudah tabungkan sisa
uang saku itu setiap bulannya.”
Ayah
dan Ibu memandang sendu anaknya. Tapi, senyum keduanya kemudian merekah dan itu
berhasil menghangatkan suasana yang terus membeku beberapa menit yang lalu.
Pada
malam hari, seperti biasa, jam tujuh malam, Ayah mulai bersiap menjajakan
kembali roti bakarnya di alun-alun. Ia terus berjuang di kala kesulitan melanda
keluarganya. Ia bersyukur mempunyai istri yang begitu mencintainya, juga
anaknya, Meisa yang cerdas dan berbakti kepada orang tua. Ia begitu beruntung
memiliki kedua perempuan itu, dan kedua perempuan itulah yang selalu menjadi
alasan untuknya agar terus bersemangat dalam bekerja.
Meisa
membantu Ayahnya bersiap-siap. Dibawakannya berbagai bahan dan alat untuk
berdagang Ayahnya nanti di tengah keramaian kota. Harap-harap pembeli yang
datang akan semakin banyak.
“Oh
iya. Ayah mau beri ini untuk kamu dan Ibumu.” Ujar Ayah sambil memberikan
sebuah amplop putih kepada Meisa, sebelum ia benar-benar menancap gas menjauhi
rumah.
“Ini
apa yah?” tanya Meisa penasaran.
“Udah
simpan saja. Nanti sekalian berikan pada Ibu ya.”
“Iya
kan bisa besok yah, ketika kita sarapan. Sekalian ada Ibu.”
“Sudah
tidak apa-apa. Ayah takut tidak ada waktu. Ya sudah, Ayah pergi bekerja dulu
ya, sayang.”
“Baik,
yah.” Ucap Meisa sambil menyalami tangan Ayahnya.
Nanti malam, aku
akan membukakan pintu untukmu, yah, kata Meisa dari
hatinya. Ia begitu tidak sabar menanti kedatangan Ayahnya pulang. Menyapa dan
tersenyum lagi kepadanya, dan ketika masuk rumah diusaplah kepalanya. Ia
sungguh menanti momen itu. Dan kepada ibunya lah ia kembali berjanji untuk
terjaga. Jadi, Ibu tidak perlu menahan kantuk semalaman hanya untuk menanti
sang suami. “Biar Meisa saja yang berjaga.” Ucap Meisa kepada Ibunya malam itu.
Seperti
pada malam-malam sebelumnya, jarum jam di dinding kedengarannya berdetak begitu
keras. Sadar tidak sadar, suara itu seperti membuat Meisa semakin bertambah
rasa kantuknya. Karena hal itulah, akhirnya Meisa membuat kopi. Setalah ia
meminum kopi, rasa kantuknya pun menghilang. Ia kini malah mencemaskan waktu
tidurnya, kalau-kalau matanya akan terjaga sampai matahari menyingsing nantinya.
Di
kamarnya, Meisa menunggu Ayah. Ia lihat berkali-kali jam dindingnya. Sudah
begitu larut, tapi ayahnya belum kembali pulang. Sampai akhirnya, penantian
Meisa terbayar sudah. Suara pintu itu diketuk Ayah tepat pada jam dua dini
hari. Buru-buru Meisa ke arah ruang tamu dan membukakan pintu.
Setelah
dibukanya.. Rupanya..
“Bapak
siapa?” tanya Meisa terkejut.
Ternyata
orang yang mengetuk pintu itu bukan Ayahnya, melainkan seorang bapak-bapak yang
mengaku sebagai teman Ayah.
“Nak.
Ayahmu kecelakaan. Nyawanya sudah tidak tertolong lagi.” ucap bapak itu dengan
sedihnya.
Meisa
tidak percaya. Ia bantah perkataan orang yang mengaku teman Ayahnya itu dengan
keras. Tapi percuma saja, bantahannya tidak lantas mengubah redaksi bicara
bapak itu, dan itu membuat Meisa begitu frustasi. Ia pun menangis
sejadi-jadinya.
Di
ruang tamu, Meisa melihat Ibunya menangis tersedu. Rupanya, Ibu mendengar suara
gaduh antara Meisa dan teman Ayah, dan itu berhasil membuat Ibu terbangun dan
mendengar semuanya.
“Ibuu..”
seru Meisa sambil menghampiri Ibunya.
“Ibu..
Ayah.. Ayah.” Ucapnya lagi dengan terbata. Sampai ia telah berada tepat di
hadapan sang Ibu. Namun, perlahan penglihatan Meisa tiba-tiba kabur dan semakin
samar.
“Ibu.
Kenapa? Ayah.. Ayah Bu..”
“AYAAHHH..”
Meisa
terkejut. Matanya terbuka. Ia pun terbangun dari kasurnya. Nafasnya begitu
terengah-engah. Bantalnya penuh dengan peluh. Ia bingung terhadap apa yang
barusan terjadi.
“Meisaa..”
panggil seorang wanita membuyarkan lamunan Meisa.
Ia
amati seorang wanita di kursi roda itu. Tepat di samping kasurnya.
“Ibu.”
Ucap Meisa lirih.
“Kamu
mimpi, nak.” Ucap Ibu.
Meisa
masih berusaha membuat pikirannya sadar sesadar-sadarnya. Sampai ia betul-betul
paham, bahwa segala peristiwa mengenai Ayah itu hanya ada dalam mimpinya.
“Iya
Bu. Meisa hanya bermimpi.”
“Kamu
kenapa memanggil Ayahmu? Kita akan menunggunya lagi malam ini. Tenang saja, ia
akan pulang, nak.” Ucap Ibu, kemudian ia lekas berlalu dari kamar anaknya
pelan-pelan.
“Oh
Ibu...” lirih Meisa begitu sedih. Ia sedih sekali melihat Ibunya belum bisa
menerima keadaan. Sampai tiba-tiba, Meisa merasa ada sesuatu yang mengganjal di
tangannya. Ia ternyata memegang sesuatu di tangan kananya selagi ia tertidur.
Amplop putih?
Setelah dibuka, rupanya isinya adalah uang berlembar-lembar rupiah berwarna
merah. Meisa begitu bingung. Semakin tambah kebingungannya setelah ia melihat
ada kertas sobekan yang di dalamnya tertulis, “Untuk pengobatan ibumu.”. Meisa terus berpikir keras akan amplop
putih itu. Sampai ia menemukan suatu jawaban.
“AYAH.”
Buru-buru
ia keluar kamar dan sedikit berlari ke arah ruang tamu. Pagi itu, sekitar pukul
enam pagi, pintu rumah dibukanya dan terlihat sosok Ayahnya melambai dan
tersenyum ke arahnya. Meisa ikut tersenyum ke arah Ayah. Sekali Meisa
mengerjapkan mata, sosok Ayahnya menghilang.
“Terima
kasih Ayah. Aku akan meneruskan perjuangan Ayah. Aku akan berusaha
membahagiakan Ibu sampai ia benar-benar sembuh.”
Sekian~
Biodata Penulis
Penulis
bernama Nur Rahmatul Chasanah. Putri dari Bumi Kartini yang lahir di bulan Juli
tahun 2000. Ia merupakan seseorang dengan pembawaan yang kalem. Ia juga tidak
terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, namun cukup serius dalam menyelesaikan
apapun itu. Suka berbicara lewat aksara. Mengenyam pendidikan di Universitas
Negeri Semarang dengan Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Masih belajar nulis
dan terus ingin mengembangkan diri.
Instagram @nurrahma_ch. Wattpad @noora_nr.
Keterangan : Juara 2 Lomba Cerpen Nasional
Congrats
Editor by Alda Putri Indah Nilawati
Thanks to all partisipant
0 komentar:
Posting Komentar