Jumat, 04 Desember 2020

JUARA 2 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)



Ketukan Pintu Rumah

Karya : Nur Rahmatul Chasanah 


            Tik Tok Tik Tok

Detakan waktu itu terdengar jauh lebih mendebarkan ketimbang menunggu lamanya pengumuman ujian. Pada tengah malam, suara apapun yang biasanya kabur di pendengaran, kini malah nyaris tertangkap dengar dengan jelas. Suara jam dinding, suara angin yang menggoyang ranting, kemudian jatuh ranting itu menabrak tanah, bahkan suara-suara aneh dari luar rumah lainnya yang membuat bergidik bulu roma. Padahal, suara-suara aneh itu barangkali secara alamiah memang begitu adanya dan memang akan ada, di jam-jam ketika manusia beristirahat, sementara makhluk lain mengambil bagian dan berperan dengan leluasa di ruang yang lengang akan aktivitas manusia.

Lebih dekat menelisik ke area perkampungan yang sudah tak nampak aktivitas manusia di dalamnya. Pada  menit ke lima belas menuju tepat pukul dua malam, orang-orang sedang beristirahat mengisi ulang energinya untuk esok hari. Satu dari ratusan penduduk itu, ternyata ada seorang wanita paruh baya yang duduk di ruang tengah, mengamati suatu pintu di ruang tamu. Maklum, rumah bergaya khas Jawa yang memanjang ini tata ruang antara ruang tengah dengan ruang tamunya tiada sekat. Sang wanita paruh baya dengan kursi rodanya itu masih tetap setia berada di ruang tengah. Entah kenapa pintu utama itu begitu menarik baginya. Dalam pikirnya, ia sebenarnya tengah menanti beberapa ketukan dari luar, sehingga ia pun tahu siapakah gerangan yang datang. Entah itu dikenal atau bahkan tidak ia kenal. Ia merasa tak peduli. Ia hanya menanti satu ketukan saja, sehingga harapannya sedikit saja bisa jadi sebuah realita.

“Ibu.” seru seorang wanita yang lebih muda itu kepada sang wanita paruh baya.

“Ayo Bu kita ke kamar. Ini sudah mau jam dua, dan Ibu harus istirahat sekarang juga.” Pinta sang anak. Ibu tak merespon perkataannya, hanya diam saja, sembari tetap melihat pintu itu dengan seksama.

“Meisa akan bawa Ibu ke kamar yah. Ini sudah larut malam, Bu.” Sang anak yang ternyata bernama Meisa itu kemudian perlahan mulai mendorong kursi roda Ibunya. Namun, Ibu tetap diam saja. Tidak tampak raut penolakan atau pun penerimaan. Hal itu membuat Meisa sedikit khawatir. Ibunya tidak bicara lagi malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya, Ibunya selalu bangun pada sekitar jam satu sampai dua malam, hanya untuk berdiam diri di ruang tengah. Melakukan hal yang sama setiap malamnya, mengamati pintu utama dengan begitu seksama. Kadang Meisa sedikit tak menyangka, Ibunya mampu meletakkan tubuhnya dengan tepat di atas kursi rodanya sendiri. Padahal, biasanya Ibu perlu bantuan orang lain untuk duduk di kursi rodanya itu.

Andai seseorang bisa memindahkan pintu itu dari rumah kami. Ibu tak akan terus-terusan begini, batin Meisa dalam hati.

“Berhenti Meisa.” Ucap Ibu tiba-tiba, sebelum sempat memasuki kamarnya.

“Kenapa Bu?” tanya Meisa. Ia begitu lega akhirnya Ibu mau bicara lagi.

“Ibu harus tetap di sana supaya ketukan pintu itu dapat terdengar oleh Ibu. Kalau Ibu di kamar, nanti bakal ketiduran dan Ibu malah tidak mendengar ketukan pintu itu. Nanti siapa yang mau membukakan pintu? Kamu?”

Apa yang diucapkan Ibu sedikit membuat Meisa terkejut. Bukan lagi terkejut, tapi malah takut.

“Nanti Meisa yang akan membukakan pintu Bu. Meisa masih melek kok malam ini. Masih ada tugas kuliah yang mau Meisa selesaikan.” Jawab Meisa seadanya. Ia harap Ibunya tidak terus menerus terjaga, menantikan sesuatu yang memang tak lagi ada, sebab semuanya memanglah semu belaka.

Dengan hati-hati Meisa memapah Ibu ke kasurnya. Ia baringkan Ibu dengan perlahan lalu menyelimutinya dengan penuh sayang. Dikecupnya kening Ibu lalu diusapnya lembut. Meisa tersenyum lega ketika sang Ibu sudah memejamkan mata dan mulai terlelap. “Meisa janji akan berjuang untuk Ibu. Meisa akan cari kerja ya Bu.” Lirih Meisa. Meisa pun tersenyum kembali, lalu lekas keluar kamar Ibunya dan menuju kamarnya sendiri. Ia berbohong pada Ibu. Ia tidak sedang mengerjakan tugas kuliah sebenarnya. Itu hanya alibi agar Ibu mau segera tidur dan meninggalkan ruang tengah dengan segala harapnya. Meisa hanya perlu untuk tidur, dan besok kebohongannya sudah tidak tercium lagi aromanya.

TOK TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu itu membuat Meisa terbangun.

“Duh jam berapa sih ini?” keluh Meisa sambil memungut ponsel di meja kamarnya. Dilihatnya, jam menunjukkan pukul tiga malam. Masih terlalu dini untuk seseorang berkunjung malam-malam begini. Meisa lantas tak mau menggubrisnya, ia merasa tak mendengar apa-apa dan bergegas tidur kembali. Benar-benar mengganggu, pikirnya.

TOK TOK TOK

Ketukan yang kedua kalinya. Disusul seruan seseorang dari arah luar rumah.

“Bu, Meisa. Ayah pulang.” Seru orang tersebut beberapa kali, sambil terus mengetuk pintu rumah itu.

Tak berapa lama terdengar seseorang dari dalam rumah melangkahkan kaki mendekat ke arah pintu rumah dan segera saja ia membukanya. Ialah Meisa, sang anak yang sempat merasa terganggu tidurnya hingga akhirnya ia sadar betul bahwa orang yang bertamu itu sebenarnya bukanlah tamu, tapi sang Ayah yang memang pulang ke rumah.

“Ayah.” ucap Meisa tersenyum girang.

“Makasih, sayang.” Ucap ayah sambil mengelus kepala Meisa.

Meisa hanya tersenyum-senyum dibuatnya. Memang Ayah Meisa jika pulang pasti larut malam, bahkan pernah sampai subuh. Kepulangan Ayah yang begitu larut itu dikarenakan pekerjaannya yang menuntutnya untuk terus berburu rezeki di tengah hiruk pikuk kota. Pedagang roti bakar yang menjajakan dagangan di alun-alun kota, dan sesekali bila sepi, maka terpaksa Ayah harus berkeliling di sekitar kompleks perumahan, bahkan di beberapa kampung jika perlu. Apabila dagangannya ramai dibeli orang, maka Ayah akan berjaga sampai tengah malam, kemudian ia akan pulang paling tidak satu jam setelah rotinya benar-benar habis dan ia sudah selesai beberes berbagai perlengkapan dengan gerobaknya. Gerobak roti bakarnya ia letakkan di sebuah warung klontong milik temannya, dekat alun-alun pastinya. Kadang penitipan gerobak itu sedikit banyak membuat Ayah tak enak hati, maka sesekali Ayah memberikan sedikit rezekinya sebagai bayaran jasa penitipan barang, meskipun temannya sebetulnya ikhlas dan tak menginginkan bayaran tersebut.

Ketika pulang, Ayah mengendarai motor Shogun lamanya. Bekas peninggalan kakek Meisa.

“Ibumu sudah baikan atau belum?” tanya Ayah selepas putrinya itu benar-benar sudah menutup pintu rumahnya.

“Alhamdulillah yah. Sudah baikan. Tadi Ibu sudah bisa jalan, meskipun tidak begitu lancar.” Jawab Meisa sambil berjalan ke arah dapur. Ia anak baik, sengaja hendak membuatkan teh hangat untuk Ayahnya yang baru pulang bekerja. Ayah yang mengetahuinya, langsung saja menolak.

“Meisa, tidak perlu kamu buatkan teh buat Ayah. Tadi Ayah sudah ditraktir temen Ayah di warungnya. Ayah hanya perlu bersih-bersih kemudian istirahat. Ibumu pasti merindukan Ayah.” Timpal Ayah kepada Meisa.

Meisa tersenyum geli mendengarkan ucapan terakhir ayahnya. “Ibu tidak pernah sedetikpun berhenti memikirkan Ayah.” Ujar Meisa, disambut senyum ayahnya yang kemudian lekas menghilang dibalik pintu kamar mandi rumahnya.

Ibu Meisa memang sudah seminggu ini menjalani terapi mandiri karena serangan stroke yang menyerang syaraf pada kedua kakinya. Untuk itu, Ayah dan Meisa benar-benar begitu khawatir kepada Ibu.

“Semalam kok kamu belum tidur, Sa. Yang membukakan pintu rumah ternyata kamu kan?” tanya Ibu yang sedang berjalan menuju dapur. Rupanya, pagi itu Ibu ingin membantu Meisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga.

“Ibu, duduk yang manis saja di meja makan ya. Nasi gorengnya mau matang ini Bu.” Timpal Meisa.

“Jawab pertanyaan Ibu dong, Meisa.” Gertak Ibu.

“Hehe iya iya Bu. Meisa kan sudah janji untuk bukain pintu buat Ayah tadi malam.” Kekeh Meisa. “Untungnya sih Meisa bisa bangun.”

“Loh ternyata kamu ketiduran beneran tadi malam?”

Meisa hanya terkekeh-kekeh merespon pertanyaan Ibunya itu. Seengaknya ia bisa bangun karena mendengar Ayahnya mengetuk pintu dan memanggil-manggil namanya.

Pagi itu, satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Meisa sedang sarapan bersama. Berbagai canda tawa mereka lontarkan satu sama lain di tengah jeda makan. Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kuliahnya Meisa, pekerjaan Ayah dengan pembelinya yang tidak sabaran ketika hendak membeli roti bakar, sampai pada pembahasan mengenai kondisi Ibu. Semua hal mereka bahas pada pagi hari itu. Sampai tiba-tiba, suara gedoran dari arah pintu rumah menghentikan obrolan mereka.

DOR DOR DOR

Seseorang berteriak dengan keras dari luar rumah. Meisa dan orang tua nya pun bergegas keluar rumahnya, mencoba melihat siapa gerangan yang mengacaukan sarapan mereka saat itu.

“Heh, kapan kalian mau bayar hutang kalian, hah? Saya juga butuh uang itu tau. Kalian memang sengaja tidak mau membayarnya, ya?” bentak lelaki tua yang baru diketahui namanya adalah Pak Somat. Kumis dan jenggotnya ngeri betul, pikir Meisa.

Ayah dan Ibu begitu gelagapan menjawab pertanyaan Pak Somat. Memang seharusnya hari ini adalah hari di mana Ayah dan Ibu membayar hutang mereka. Tetapi, nampaknya orang tua Meisa masih belum memiliki cukup uang untuk membayar.

“Maaf Pak Somat, tetapi istri saya masih butuh uang untuk pengobatannya. Jadi, uangnya masih kami gunakan untuk membiayai pengobatan itu.” Ujar Ayah seadanya. Meisa dan Ibu hanya terpaku di ambang pintu. Sedikit menangis, Ibu menyeka air matanya yang keluar begitu saja. Tak menyangka, sakit stroke yang menyerangnya membuat suaminya memiliki masalah karena hutang guna membayar rumah sakit tempat dirinya menjalankan pengobatan. Meisa di samping Ibu, mencoba terus menguatkan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Ayahmu sudah bekerja dengan keras untuk keluarga ini. Dan Ibu malah membebaninya dengan penyakit ini.” lirih Ibu kepada Meisa dengan tersedu-sedu.

Meisa berusaha terus menyabarkan Ibunya. Sedang sang Ayah masih terus bernegosiasi dengan Pak Somat di sana. Percekcokan mulut benar-benar tak terhindarkan. Hingga tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, dua orang preman pesuruh Pak Somat keluar dari balik mobilnya dan meninju Ayah habis-habisan.

“Ini baru peringatan untuk kau ya. Jika besok, hutang sejumlah dua juta itu belum juga kau bayarkan, aku tak akan segan-segan menyakiti kedua perempuan yang kau kasihi itu.” Teriak Pak Somat sambil lalu melirik ke arah Meisa dan Ibunya berdiri. Meisa dan Ibu menjadi bergidik dibuatnya.

“Ayah.. Ayah tidak apa-apa?” Meisa bergegas membantu Ayahnya berdiri dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.

“Tidak apa-apa, sayang.” Ucap Ayah.

Ibu memasang muka teramat sendu. Perasaannya nampak kalut.

“Maafkan aku ya mas. Aku selalu menambah beban kamu saja.” Kata Ibu dengan dibarengi tetes air matanya.

Ayah nampak meringis kesakitan. Tapi, Ayah tidak pernah merasa benar-benar sakit, meskipun luka lebam semakin membiru menjadi tiga bagian pada area wajahnya.

“Aku tidak apa-apa. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk terus berjuang menghidupi keluarga ini. Apalagi kamu sedang sakit. Apapun akan aku lakukan untuk membuatmu sembuh. Setelah ini aku akan terus berusaha mencari uang untuk membayar hutangnya Pak Somat.”

“Gunakan saja uang kau simpan untuk pengobatanku, mas. Berikan pada Pak Somat.”

“Bagaimana mungkin. Kamu masih butuh ke dokter.”

“Kali pertama aku ke dokter satu minggu yang lalu itu sudah lebih dari cukup, mas. Sekarang aku hanya butuh istirahat dan melakukan terapi secara mandiri di rumah.”

“Tapi, sayang..”

“Sudahlah tidak apa mas.”

Meisa begitu sedih melihat kegalauan kedua orang tuanya. Tak terasa air matanya tumpah juga.

“Ayah, Ibu. Meisa juga akan membantu melunasi hutang. Meisa bisa mengambil uang saku dari beasiswa kuliahnya Meisa. Sedikit-sedikit Meisa juga sudah tabungkan sisa uang saku itu setiap bulannya.”

Ayah dan Ibu memandang sendu anaknya. Tapi, senyum keduanya kemudian merekah dan itu berhasil menghangatkan suasana yang terus membeku beberapa menit yang lalu.

Pada malam hari, seperti biasa, jam tujuh malam, Ayah mulai bersiap menjajakan kembali roti bakarnya di alun-alun. Ia terus berjuang di kala kesulitan melanda keluarganya. Ia bersyukur mempunyai istri yang begitu mencintainya, juga anaknya, Meisa yang cerdas dan berbakti kepada orang tua. Ia begitu beruntung memiliki kedua perempuan itu, dan kedua perempuan itulah yang selalu menjadi alasan untuknya agar terus bersemangat dalam bekerja.

Meisa membantu Ayahnya bersiap-siap. Dibawakannya berbagai bahan dan alat untuk berdagang Ayahnya nanti di tengah keramaian kota. Harap-harap pembeli yang datang akan semakin banyak.

“Oh iya. Ayah mau beri ini untuk kamu dan Ibumu.” Ujar Ayah sambil memberikan sebuah amplop putih kepada Meisa, sebelum ia benar-benar menancap gas menjauhi rumah.

“Ini apa yah?” tanya Meisa penasaran.

“Udah simpan saja. Nanti sekalian berikan pada Ibu ya.”

“Iya kan bisa besok yah, ketika kita sarapan. Sekalian ada Ibu.”

“Sudah tidak apa-apa. Ayah takut tidak ada waktu. Ya sudah, Ayah pergi bekerja dulu ya, sayang.”

“Baik, yah.” Ucap Meisa sambil menyalami tangan Ayahnya.

Nanti malam, aku akan membukakan pintu untukmu, yah, kata Meisa dari hatinya. Ia begitu tidak sabar menanti kedatangan Ayahnya pulang. Menyapa dan tersenyum lagi kepadanya, dan ketika masuk rumah diusaplah kepalanya. Ia sungguh menanti momen itu. Dan kepada ibunya lah ia kembali berjanji untuk terjaga. Jadi, Ibu tidak perlu menahan kantuk semalaman hanya untuk menanti sang suami. “Biar Meisa saja yang berjaga.” Ucap Meisa kepada Ibunya malam itu.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, jarum jam di dinding kedengarannya berdetak begitu keras. Sadar tidak sadar, suara itu seperti membuat Meisa semakin bertambah rasa kantuknya. Karena hal itulah, akhirnya Meisa membuat kopi. Setalah ia meminum kopi, rasa kantuknya pun menghilang. Ia kini malah mencemaskan waktu tidurnya, kalau-kalau matanya akan terjaga sampai matahari menyingsing nantinya.

Di kamarnya, Meisa menunggu Ayah. Ia lihat berkali-kali jam dindingnya. Sudah begitu larut, tapi ayahnya belum kembali pulang. Sampai akhirnya, penantian Meisa terbayar sudah. Suara pintu itu diketuk Ayah tepat pada jam dua dini hari. Buru-buru Meisa ke arah ruang tamu dan membukakan pintu.

Setelah dibukanya.. Rupanya..

“Bapak siapa?” tanya Meisa terkejut.

Ternyata orang yang mengetuk pintu itu bukan Ayahnya, melainkan seorang bapak-bapak yang mengaku sebagai teman Ayah.

“Nak. Ayahmu kecelakaan. Nyawanya sudah tidak tertolong lagi.” ucap bapak itu dengan sedihnya.

Meisa tidak percaya. Ia bantah perkataan orang yang mengaku teman Ayahnya itu dengan keras. Tapi percuma saja, bantahannya tidak lantas mengubah redaksi bicara bapak itu, dan itu membuat Meisa begitu frustasi. Ia pun menangis sejadi-jadinya.

Di ruang tamu, Meisa melihat Ibunya menangis tersedu. Rupanya, Ibu mendengar suara gaduh antara Meisa dan teman Ayah, dan itu berhasil membuat Ibu terbangun dan mendengar semuanya.

“Ibuu..” seru Meisa sambil menghampiri Ibunya.

“Ibu.. Ayah.. Ayah.” Ucapnya lagi dengan terbata. Sampai ia telah berada tepat di hadapan sang Ibu. Namun, perlahan penglihatan Meisa tiba-tiba kabur dan semakin samar.

“Ibu. Kenapa? Ayah.. Ayah Bu..”

“AYAAHHH..”

Meisa terkejut. Matanya terbuka. Ia pun terbangun dari kasurnya. Nafasnya begitu terengah-engah. Bantalnya penuh dengan peluh. Ia bingung terhadap apa yang barusan terjadi.

“Meisaa..” panggil seorang wanita membuyarkan lamunan Meisa.

Ia amati seorang wanita di kursi roda itu. Tepat di samping kasurnya.

“Ibu.” Ucap Meisa lirih.

“Kamu mimpi, nak.” Ucap Ibu.

Meisa masih berusaha membuat pikirannya sadar sesadar-sadarnya. Sampai ia betul-betul paham, bahwa segala peristiwa mengenai Ayah itu hanya ada dalam mimpinya.

“Iya Bu. Meisa hanya bermimpi.”

“Kamu kenapa memanggil Ayahmu? Kita akan menunggunya lagi malam ini. Tenang saja, ia akan pulang, nak.” Ucap Ibu, kemudian ia lekas berlalu dari kamar anaknya pelan-pelan.

“Oh Ibu...” lirih Meisa begitu sedih. Ia sedih sekali melihat Ibunya belum bisa menerima keadaan. Sampai tiba-tiba, Meisa merasa ada sesuatu yang mengganjal di tangannya. Ia ternyata memegang sesuatu di tangan kananya selagi ia tertidur.

Amplop putih? Setelah dibuka, rupanya isinya adalah uang berlembar-lembar rupiah berwarna merah. Meisa begitu bingung. Semakin tambah kebingungannya setelah ia melihat ada kertas sobekan yang di dalamnya tertulis, “Untuk pengobatan ibumu.”. Meisa terus berpikir keras akan amplop putih itu. Sampai ia menemukan suatu jawaban.

“AYAH.”

Buru-buru ia keluar kamar dan sedikit berlari ke arah ruang tamu. Pagi itu, sekitar pukul enam pagi, pintu rumah dibukanya dan terlihat sosok Ayahnya melambai dan tersenyum ke arahnya. Meisa ikut tersenyum ke arah Ayah. Sekali Meisa mengerjapkan mata, sosok Ayahnya menghilang.

“Terima kasih Ayah. Aku akan meneruskan perjuangan Ayah. Aku akan berusaha membahagiakan Ibu sampai ia benar-benar sembuh.”

Sekian~

 

 

Biodata Penulis

Penulis bernama Nur Rahmatul Chasanah. Putri dari Bumi Kartini yang lahir di bulan Juli tahun 2000. Ia merupakan seseorang dengan pembawaan yang kalem. Ia juga tidak terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, namun cukup serius dalam menyelesaikan apapun itu. Suka berbicara lewat aksara. Mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Semarang dengan Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Masih belajar nulis dan terus ingin mengembangkan diri.

Instagram @nurrahma­_ch. Wattpad @noora_nr.


Keterangan : Juara 2 Lomba Cerpen Nasional

Congrats

Editor by Alda Putri Indah Nilawati 

Thanks to all partisipant

0 komentar:

Posting Komentar