Selamat Hari Tani Nasional 2016

Hari Tani Nasional (24 September 2016)

LOKTIMAWIL 2

Perwakilan dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mendapatkan juara 2 dalam Lomba Karya Tulis Wilayah 2 FKK HIMAGRI yang di laksanakan di Universitas Padjadjaran

Pemindahan Lahan Parkir UNTIRTA

Parkir kendaraan motor (Roda 2) dialihkan ke lahan parkir depan kampus UNTIRTA (Tidak dipungut biaya - GRATIS)

Sosialisasi SISTA

Sosialisasi SISTA (Sistem Informasi Skripsi dan Tugas Akhir) diadakan untuk seluruh KBM FAPERTA UNTIRTA pada tanggal 07 Maret 2016 hari Senin di Lab Agribisnis.

Jumat, 04 Desember 2020

JUARA 3 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)

 

KARINA

Karya: Ghumai Namira


Hentakan kakinya halus namun lelet. Badannya gontai mengikuti langkah yang memaksanya terus maju sampai menyentuh pintu keluar bangunan lembab ini.

Di luar hujan. Orang-orang membuka payung mereka lebar-lebar, berjalan lurus menepis tetesan air yang menyiprat ke kulit dan alas kaki.

            Wanita itu mengecek lagi barang-barang dalam tas yang ia tenteng. Pakaian, buku catatan, kartu tanda penduduk, dan beberapa perintilan tak penting lainnya. “Sudah semua,” pikirnya.

            Hujan semakin deras. Mulanya hanya sepertiga tanah yang basah, sekarang airnya sampai bersibaran di dekat telapak kakinya, kendati wanita itu telah berada di tempat beratap. Langit sudah gelap padahal masih tengah hari. Sembari menunggu hujan reda, ia juga menunggu seseorang. Entah siapa yang ditunggunya, namun wanita itu tetap bersimpuh disana. Menunggu seseorang atau barangkali sesuatu, datang padanya.

            Bangunan ini, yang tinggi pondasinya, kukuh ruas-ruasnya, dan menjulang ke langit gerbang utamanya, adalah tempat yang tidak pernah ia harapkan akan dikunjungi sepanjang hidupnya. Tidak sebagai tahanan. Namun sekarang wanita itu justru keluar dari sana setelah mengendap 10 bulan lamanya mengenakan baju oranye yang familiar di halaman utama koran atau tabloid.

            10 bulan yang lalu wanita itu merupakan seorang dokter spesialis anak yang bekerja di sebuah rumah sakit tersohor di pusat kota dengan impresi positif dari banyak orang. 10 bulan yang lalu wanita itu masih menjalin hubungan romantis dengan kekasih sesama dokternya yang kini telah raib batang hidungnya. 10 bulan lalu, hidup berjalan sesuai keinginannya. Sekarang, rumah untuk pulang pun ia tak punya. Teman untuk berbagi sudah menjauh. Tak ada yang tersisa untuk wanita itu. Hanya tinggal luka dan cerita 10 bulan silam yang tak bisa dihapus sebagaimana tulisan di papan tulis.

            Ingatannya melayang ke masa-masa sebelum segala sesuatunya berubah kelam.

***

            “Kalau lulus seleksi berikutnya kamu bisa saya promosikan langsung ke direktur rumah sakit untuk ambil kursi kosong di bidang spesialis anak kelas satu.” Sambil mengaduk-aduk teh manisnya, pria yang sudah beruban sempurna rambutnya itu bicara tanpa melihat wajah Karina.

            “Saya sudah gagal satu kali. Sulit untuk mengejar posisi itu bila dari awal sudah menunjukkan prospek yang buruk.”

            Pria itu menggelengkan kepala kencang-kencang. “Jangan bilang seperti itu. Dunia medis tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami menerima mereka yang berjuang tanpa pamrih, yang mengabdi pada kelangsungan hidup manusia tanpa menengok imbalan, dan kamu memenuhi dua kriteria itu.”

            Karina tersenyum lembut mendengarnya. Seperti obat, ucapan pria itu sedikit banyaknya mengobati cedera hati yang disebabkan kegagalannya.

            Ada rumor beredar, dokter yang terpilih pada seleksi rekrutmen tenaga kerja medis pelopor Rumah Sakit Cemara Asri semuanya sudah diatur sejak awal. Artinya ada udang dibalik batu. Rumor lain juga menyebutkan tahun ini penyeleksian sepenuhnya ditata lewat uang dan koneksi. Siapa yang memiliki afiliasi, dia yang dapat.

Karina bisa melihatnya dengan jelas. Alasan mengapa ia gagal memperoleh kesempatan tersebut. Alasan mnegapa pihak manajemen meloloskan 3 dari 7 dokter berinterpretasi dibawah standar yang sama sekali tak memiliki keistimewaan apalagi bakat. Semua bisa melihatnya dengan mata telanjang.

            Karina menunggu setahun lamanya untuk kembali ke tempat itu lagi dalam rangka membuktikan sesuatu. Apakah prasangkanya selama ini hanyalah sebatas prasangka.

            Dokter yang berada di hadapannya masih sama dengan tahun lalu. Pria yang menawarkannya promosi juga duduk disana, mengelus-elus rekam akademiknya dengan tangan bersarung kain. Tiga diantaranya Karina kenal dengan baik. Merekalah saksi kegagalannya mengenyam julukan dokter spesialis 12 bulan lalu.

            “Baiklah. Kami telah melihat ketekunan anda dan kami mengaku sangat tertarik usai melihat catatan akademik anda. Anda berbakat, harus diakui. Tidak ada jawaban yang melantur, semua berimplikasi dengan prospek tenaga medis. Ditambah dedikasi anda yang besar membuat kami yakin sekali anda merupakan sosok yang bertanggung jawab dan berintegritas. Oleh sebab itu, kami harap anda menemukan tempat yang cocok di masa depan. Terima kasih.”

            Sialan. Bahkan jawaban yang diberikan tak jauh beda dengan tahun kemarin.

            Namun itu tak membuat Karina berlarut-larut dalam lara. Toh hal serupa pernah terjadi padanya. Terlebih, sebelum menginjak ruang interview wanita itu sudah memperkirakan kemungkinan-kemungkinan paling pahit, ia bisa melihat apa yang akan terjadi pada akhirnya.

Berhasil membuktikan prasangkanya selama ini, membuatnya puas.

***

           

            Tak butuh waktu lama, Karina mencoba penyeleksian di tiga rumah sakit berbeda. Rumah sakit dengan mutu pelayanan paling baik di kelasnya berbasis kepuasan pasien, ia mengincar rumah sakit dengan perspektif jelas. Dan berniat mengabdikan dirinya habis-habisan setelah menemukan satu.

            Rumah sakit ketiga ia mendaftar memberi lampu hijau pada Karina. Ia diberi wewenang untuk mengisi bidang spesialis anak persis seperti yang diharapkannya.

Tahun pertamanya sebagai dokter berangsur gemilang. Kebanyakan pasien yang telah ia tangani memberikan kesan dan catatan positif, baik dari aspek kepribadian maupun penalangan. Dalam dua tahun Karina berhasil meraih posisi spesial. Gajinya meningkat tiap temponya dan direktur rumah sakit nampak yakin sekali padanya.

            Sepanjang perjalanan karirnya menjadi dokter, Karina telah bergumul dengan macam-macam penyakit anak dimulai dari demam, diare, ISPA, lambung sampai kelainan kulit. Karina semaksimal mungkin mengobati pasiennya secara adil tanpa memandang status sosial maupun latar belakang.

            Banyak hal terjadi, pengalaman menambah pengetahuan, bahkan tak jarang diselingi cerita lucu. Dari anak penderita ISPA yang bergidik ngeri melihat jarum suntik, bocah laki-laki dari negara berbeda muntah di lift rumah sakit disebabkan bau infus yang menguar, anak perempuan kenalannya trauma pada jas putih panjang dan stetoskop, sampai anak pengidap asma yang tak bisa menelan obat pil.

             Reaksi berbeda-beda datang mengetuk pintu ruangannya, namun setelah segalanya berakhir anak-anak itu akan pulang dengan wajah sumringah sambil berkata, “Terima kasih, Dokter.”

***

            Seorang dokter baru datang mengisi ruangan di sebelah Karina. Sudah satu tahun sejak ruangan itu kosong usai ditinggalkan Dokter Valerie yang mengambil pensiun dini. Kini seorang pria bernama Hanif mengambil alih posisinya sebagai dokter spesialis mata.

Hanif merupakan sosok yang sopan dan tekun. Bersamanya Karina merasa bisa menumpahkan semua isi kepalanya sekalipun itu mengerikan dan menjijikkan. Status rekan berubah menjadi pasangan setelah 7 bulan saling mengenal. Usai jam kerja mereka membuat janji temu di toko donat seberang rumah sakit. Sebagaimana hubungan yang baik merupakan hubungan yang tertutup, keduanya sebisa mungkin menjaga privasi keduanya di hadapan rekan tenaga medis lainnya.

***

            Desember datang melumat bulan sebelumnya. Desember, 10 bulan yang lalu. Bulan dimana peristiwa tak terduga membesuk pintu ruangan Karina. Menguras habis semua yang ia miliki dalam hidup. Mendadak dan tak terduga.

Hari itu cerah. Matahari menyembul dari balik awan putih yang berjajar rapi. Angin mendatangkan sejuk, rumah sakit bekerja seperti biasanya. Karina duduk di ruangannya. Sembari menyesap kopi ia mempelajari beberapa dokumen yang diberikan padanya pagi ini.

            Telepon khusus berdering. Panggilan dari meja adminstrasi.

            “Pasien akan segera masuk ke ruangan anda, Dokter,” ujar suara di sambungan telepon.

            “Apakah ada janji?” tanya Karina.

            “Sepertinya tidak.”

            “Kalau begitu izinkan masuk setelah 5 menit.”

            Seorang ibu bersama dengan anaknya yang kelihatan masih duduk di bangku sekolah dasar melewati pintunya. Gadis itu terlihat sehat dari penampilan luarnya, tapi seperti yang Karina pahami banyak penyakit yang tidak menunjukkan gejala fisik.

            Ibu dari pasien muda itu menjelaskan gejala ringan yang di derita putrinya sejak kemarin, seperti demam tinggi, batuk dan napas tak beraturan. Karina meminta gadis itu berbaring di atas kasur. Saat dicek suhu tubuhnya, bisa disimpulkan gadis itu terserang demam ringan. Karina menekan perut gadis itu dengan stetoskop. Dari perut beranjak ke bagian atas tubuh.

            “Ada yang tidak beres.”

            Saat melakukan rontgen sederhana, paru-paru gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Terdapat entitas-entitas tak dikenali yang menembus selnya. Dan itu berbahaya.

Kendati pasiennya terlihat seperti sekadar sakit ringan, tapi di dalam tubuhnya sesuatu yang gawat sedang terjadi.

Karina meminta bantuan atasan dan rekan lainnya untuk menganalisa, berhubung ini kasus yang tidak biasa. Ibu gadis kecil itu berubah tegang saat dokter lain masuk ke ruangan, stetoskop tergantung di leher mereka, raut wajah beralih serius.

“Apa yang terjadi? apa yang terjadi?” hardik Ibu itu cemas.

Dokter yang berkumpul di ruangan Karina tak seorang pun berani menyimpulkan. Hipotesis-hipotesis abstrak diajukan tapi tak satupun yang merujuk dengan tepat.

Aneh, batin Karina.

Bergulat dengan teori hanya membuang-buang waktu. Karina maju ke depan menggumamkan pendapatnya. “Ini virus!” ucapnya lantang. “Virus yang menginfeksi saluran pernapasan!”

Tak ada dokter yang memberi sahutan.

 “Ini virus berbahaya. Kita harus melaporkannya pada—“

“Tidak,” ucapannya dipotong. “Gejala yang ditunjukkan umum. Secara keseluruhan gadis ini sehat. Paling tidak hanya demam ringan dan gangguan pernapasan. Berikan saja resepnya dan selesaikan.”

“Tidak bisa begitu, Dok. Saya percaya ini merupakan kasus berbeda dari yang pernah kita tangani. Virus ini berbahaya dan apabila salah langkah akibatnya bisa fatal.”

“Dokter Karina! Bukan anda yang bisa menentukan suatu penyakit berbahaya atau tidak. Anda bukan ilmuan, bertindaklah sebagaimana seharusnya seorang dokter.”

“Tapi—“

Satu per satu dokter meninggalakan ruangannya. “Lakukanlah sendiri,” kata mereka.

Karina berada di keadaan yang memaksanya untuk menyerah. Seolah gravitasi menarik bukan hanya tubuhnya tapi sampai ke alam bawah sadarnya. Namun di satu sisi, hasratnya untuk tetap bertahan tak kalah besar dari radiasi negatif yang sudah mengawang di sekelilingnya. Apalagi dengan melihat ekspresi getir ibu dari gadis kecil itu, bagaimana bisa ia melepaskan tanggung jawab ini begitu saja?

Karina membuat keputusan.

Bertaruh pada do’a dan pengalaman, Karina melakukan semua yang ia bisa sampai batas kemampuannya.

Namun naas, gadis itu dinyatakan meninggal satu minggu setelahnya. Wali pasien menuntut pihak rumah sakit atas insiden yang terjadi. Ibu dan ayah gadis itu mengancam ganti rugi atau akan membongkar kisahnya ke media massa.

Karina dipanggil oleh Direktur rumah sakit.

Tak ragu-ragu, ia segera menerangkan spekulasinya sesaat setelah dipersilahkan duduk, “Gadis itu mengidap penyakit berbahaya. Infeksi sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus yang serupa dengan SARS, yang pernah terjadi di tahun 2012. Gejalanya mirip, namun yang membedakan adalah bentuk virusnya. Yang satu ini berbentuk mirip mahkota. Saya menamakannya, virus corona. Nama sementara. Saya telah mencatutkan semuanya dalam jurnal, mohon bapak baca jurnal yang telah saya teliti terkait penyakit tersebut. Kematian gadis itu disebabkan oleh virus yang menggerogoti hampir separuh paru-parunya, menyebabkan ia kesulitan bernapas.”

“Saya mohon, sebar luaskan perihal virus ini pada masyarakat. Virus ini mampu menular dalam jangka waktu yang singkat.”

“Menyebarluaskan, kata anda?” ulang Direktur.

Karina mengangguk.

“Dokter, maaf, tapi persoalan ini takkan sampai kemana-mana.”

“Eh?” Karina tercengang.

“Ini hanya diantara kita saja, tapi bagi saya penyakit ini tidak berbahaya sama sekali. Saya sudah melihat catatan yang lebih dulu sampai dan saya tidak melihat adanya keanehan. Kematian gadis itu kemungkinan besar karena faktor yang lain. Bisa jadi karena kelemahan antibodi atau kesalahan pada pengobatan.”

“Kesalahan pengobatan? Maksud anda..”

“Ya. Bisa saja anda yang membuatnya seperti itu.

“Pak Direktur, itu tidak benar. Saya tidak mungkin—“

“Terima kasih atas kerja keras anda selama ini, Dokter Karina. Saya mengharagai upaya anda berjuang menyelamatkan nyawa gadis itu. Tapi haruslah anda tahu, dokter bukan Tuhan. Kita punya batas atas kemampuan kita. Menambah usia manusia tidak termasuk di dalamnya. Harusnya anda lebih bijak dalam mambuat keputusan. Kalau saja anda mengikuti saran rekan-rekan yang lain pada saat itu barangkali hasilnya akan berbeda. Tapi ya, bagaimanapun semua sudah terjadi. Harus ada yang bertanggung jawab atas semuanya. Sekali lagi, terima kasih sudah berjuang, Dokter Karina.”

Penglihatan Karina menghitam.

***

 Karina membuka matanya perlahan-lahan. Langit masih gelap, tapi hujan sudah mereda sedikit demi sedikit. Kepalanya menjadi pusing memikirkan kisah-kisah lama. Padahal selama di bui ia sudah bertekad untuk tidak lagi mengingat-ingatnya.

Sudah 2 jam ia menunggu dan tak ada apapun yang datang. Sepertinya memang tak ada yang ditunggunya sejak awal. Ia beranjak dari tempat itu, lantas mencari kendaraan umum pergi menjauh entah kemana.

Namun ternyata dugaannya salah. Di ujung jalan berdiri seorang pria yang sangat ia kenali bahkan setelah 10 bulan lamanya hanya dari postur tubuh bagian belakangnya saja. Sesaat setelah melihat Karina pria itu berderap.

Ia berlari menembus hujan menuju ke arah Karina yang terlihat lusuh dan rapuh.

“Harusnya aku datang lebih cepat. Harusnya aku disana saat semua orang berbondong-bondong mencomoohmu. Sekarang mereka melihatnya sendiri. Virus itu nyata. Dan kamu selama ini berkata kebenaran. Maaf karena telah menyia-nyiakan perjuanganmu, Dokter Karina. Maaf karena tidak mendengarkanmu. Tolong maafkan aku.”

“Sekarang, maukah kau pulang?”

 

 

BIODATA PENULIS


Nama : Ghumai Namira Afda
Alamat : Villa Malina Indah, Jl. Permata Hijau No. 16. Medan
Email :
ghumainamira02@gmail.com


Keterngan : Juara 3 Lomba Cerpen Nasional 

Congrats

Editor: Alda Putri Indah Nilawati

Thanks to all partisipant


JUARA 2 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)



Ketukan Pintu Rumah

Karya : Nur Rahmatul Chasanah 


            Tik Tok Tik Tok

Detakan waktu itu terdengar jauh lebih mendebarkan ketimbang menunggu lamanya pengumuman ujian. Pada tengah malam, suara apapun yang biasanya kabur di pendengaran, kini malah nyaris tertangkap dengar dengan jelas. Suara jam dinding, suara angin yang menggoyang ranting, kemudian jatuh ranting itu menabrak tanah, bahkan suara-suara aneh dari luar rumah lainnya yang membuat bergidik bulu roma. Padahal, suara-suara aneh itu barangkali secara alamiah memang begitu adanya dan memang akan ada, di jam-jam ketika manusia beristirahat, sementara makhluk lain mengambil bagian dan berperan dengan leluasa di ruang yang lengang akan aktivitas manusia.

Lebih dekat menelisik ke area perkampungan yang sudah tak nampak aktivitas manusia di dalamnya. Pada  menit ke lima belas menuju tepat pukul dua malam, orang-orang sedang beristirahat mengisi ulang energinya untuk esok hari. Satu dari ratusan penduduk itu, ternyata ada seorang wanita paruh baya yang duduk di ruang tengah, mengamati suatu pintu di ruang tamu. Maklum, rumah bergaya khas Jawa yang memanjang ini tata ruang antara ruang tengah dengan ruang tamunya tiada sekat. Sang wanita paruh baya dengan kursi rodanya itu masih tetap setia berada di ruang tengah. Entah kenapa pintu utama itu begitu menarik baginya. Dalam pikirnya, ia sebenarnya tengah menanti beberapa ketukan dari luar, sehingga ia pun tahu siapakah gerangan yang datang. Entah itu dikenal atau bahkan tidak ia kenal. Ia merasa tak peduli. Ia hanya menanti satu ketukan saja, sehingga harapannya sedikit saja bisa jadi sebuah realita.

“Ibu.” seru seorang wanita yang lebih muda itu kepada sang wanita paruh baya.

“Ayo Bu kita ke kamar. Ini sudah mau jam dua, dan Ibu harus istirahat sekarang juga.” Pinta sang anak. Ibu tak merespon perkataannya, hanya diam saja, sembari tetap melihat pintu itu dengan seksama.

“Meisa akan bawa Ibu ke kamar yah. Ini sudah larut malam, Bu.” Sang anak yang ternyata bernama Meisa itu kemudian perlahan mulai mendorong kursi roda Ibunya. Namun, Ibu tetap diam saja. Tidak tampak raut penolakan atau pun penerimaan. Hal itu membuat Meisa sedikit khawatir. Ibunya tidak bicara lagi malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya, Ibunya selalu bangun pada sekitar jam satu sampai dua malam, hanya untuk berdiam diri di ruang tengah. Melakukan hal yang sama setiap malamnya, mengamati pintu utama dengan begitu seksama. Kadang Meisa sedikit tak menyangka, Ibunya mampu meletakkan tubuhnya dengan tepat di atas kursi rodanya sendiri. Padahal, biasanya Ibu perlu bantuan orang lain untuk duduk di kursi rodanya itu.

Andai seseorang bisa memindahkan pintu itu dari rumah kami. Ibu tak akan terus-terusan begini, batin Meisa dalam hati.

“Berhenti Meisa.” Ucap Ibu tiba-tiba, sebelum sempat memasuki kamarnya.

“Kenapa Bu?” tanya Meisa. Ia begitu lega akhirnya Ibu mau bicara lagi.

“Ibu harus tetap di sana supaya ketukan pintu itu dapat terdengar oleh Ibu. Kalau Ibu di kamar, nanti bakal ketiduran dan Ibu malah tidak mendengar ketukan pintu itu. Nanti siapa yang mau membukakan pintu? Kamu?”

Apa yang diucapkan Ibu sedikit membuat Meisa terkejut. Bukan lagi terkejut, tapi malah takut.

“Nanti Meisa yang akan membukakan pintu Bu. Meisa masih melek kok malam ini. Masih ada tugas kuliah yang mau Meisa selesaikan.” Jawab Meisa seadanya. Ia harap Ibunya tidak terus menerus terjaga, menantikan sesuatu yang memang tak lagi ada, sebab semuanya memanglah semu belaka.

Dengan hati-hati Meisa memapah Ibu ke kasurnya. Ia baringkan Ibu dengan perlahan lalu menyelimutinya dengan penuh sayang. Dikecupnya kening Ibu lalu diusapnya lembut. Meisa tersenyum lega ketika sang Ibu sudah memejamkan mata dan mulai terlelap. “Meisa janji akan berjuang untuk Ibu. Meisa akan cari kerja ya Bu.” Lirih Meisa. Meisa pun tersenyum kembali, lalu lekas keluar kamar Ibunya dan menuju kamarnya sendiri. Ia berbohong pada Ibu. Ia tidak sedang mengerjakan tugas kuliah sebenarnya. Itu hanya alibi agar Ibu mau segera tidur dan meninggalkan ruang tengah dengan segala harapnya. Meisa hanya perlu untuk tidur, dan besok kebohongannya sudah tidak tercium lagi aromanya.

TOK TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu itu membuat Meisa terbangun.

“Duh jam berapa sih ini?” keluh Meisa sambil memungut ponsel di meja kamarnya. Dilihatnya, jam menunjukkan pukul tiga malam. Masih terlalu dini untuk seseorang berkunjung malam-malam begini. Meisa lantas tak mau menggubrisnya, ia merasa tak mendengar apa-apa dan bergegas tidur kembali. Benar-benar mengganggu, pikirnya.

TOK TOK TOK

Ketukan yang kedua kalinya. Disusul seruan seseorang dari arah luar rumah.

“Bu, Meisa. Ayah pulang.” Seru orang tersebut beberapa kali, sambil terus mengetuk pintu rumah itu.

Tak berapa lama terdengar seseorang dari dalam rumah melangkahkan kaki mendekat ke arah pintu rumah dan segera saja ia membukanya. Ialah Meisa, sang anak yang sempat merasa terganggu tidurnya hingga akhirnya ia sadar betul bahwa orang yang bertamu itu sebenarnya bukanlah tamu, tapi sang Ayah yang memang pulang ke rumah.

“Ayah.” ucap Meisa tersenyum girang.

“Makasih, sayang.” Ucap ayah sambil mengelus kepala Meisa.

Meisa hanya tersenyum-senyum dibuatnya. Memang Ayah Meisa jika pulang pasti larut malam, bahkan pernah sampai subuh. Kepulangan Ayah yang begitu larut itu dikarenakan pekerjaannya yang menuntutnya untuk terus berburu rezeki di tengah hiruk pikuk kota. Pedagang roti bakar yang menjajakan dagangan di alun-alun kota, dan sesekali bila sepi, maka terpaksa Ayah harus berkeliling di sekitar kompleks perumahan, bahkan di beberapa kampung jika perlu. Apabila dagangannya ramai dibeli orang, maka Ayah akan berjaga sampai tengah malam, kemudian ia akan pulang paling tidak satu jam setelah rotinya benar-benar habis dan ia sudah selesai beberes berbagai perlengkapan dengan gerobaknya. Gerobak roti bakarnya ia letakkan di sebuah warung klontong milik temannya, dekat alun-alun pastinya. Kadang penitipan gerobak itu sedikit banyak membuat Ayah tak enak hati, maka sesekali Ayah memberikan sedikit rezekinya sebagai bayaran jasa penitipan barang, meskipun temannya sebetulnya ikhlas dan tak menginginkan bayaran tersebut.

Ketika pulang, Ayah mengendarai motor Shogun lamanya. Bekas peninggalan kakek Meisa.

“Ibumu sudah baikan atau belum?” tanya Ayah selepas putrinya itu benar-benar sudah menutup pintu rumahnya.

“Alhamdulillah yah. Sudah baikan. Tadi Ibu sudah bisa jalan, meskipun tidak begitu lancar.” Jawab Meisa sambil berjalan ke arah dapur. Ia anak baik, sengaja hendak membuatkan teh hangat untuk Ayahnya yang baru pulang bekerja. Ayah yang mengetahuinya, langsung saja menolak.

“Meisa, tidak perlu kamu buatkan teh buat Ayah. Tadi Ayah sudah ditraktir temen Ayah di warungnya. Ayah hanya perlu bersih-bersih kemudian istirahat. Ibumu pasti merindukan Ayah.” Timpal Ayah kepada Meisa.

Meisa tersenyum geli mendengarkan ucapan terakhir ayahnya. “Ibu tidak pernah sedetikpun berhenti memikirkan Ayah.” Ujar Meisa, disambut senyum ayahnya yang kemudian lekas menghilang dibalik pintu kamar mandi rumahnya.

Ibu Meisa memang sudah seminggu ini menjalani terapi mandiri karena serangan stroke yang menyerang syaraf pada kedua kakinya. Untuk itu, Ayah dan Meisa benar-benar begitu khawatir kepada Ibu.

“Semalam kok kamu belum tidur, Sa. Yang membukakan pintu rumah ternyata kamu kan?” tanya Ibu yang sedang berjalan menuju dapur. Rupanya, pagi itu Ibu ingin membantu Meisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga.

“Ibu, duduk yang manis saja di meja makan ya. Nasi gorengnya mau matang ini Bu.” Timpal Meisa.

“Jawab pertanyaan Ibu dong, Meisa.” Gertak Ibu.

“Hehe iya iya Bu. Meisa kan sudah janji untuk bukain pintu buat Ayah tadi malam.” Kekeh Meisa. “Untungnya sih Meisa bisa bangun.”

“Loh ternyata kamu ketiduran beneran tadi malam?”

Meisa hanya terkekeh-kekeh merespon pertanyaan Ibunya itu. Seengaknya ia bisa bangun karena mendengar Ayahnya mengetuk pintu dan memanggil-manggil namanya.

Pagi itu, satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Meisa sedang sarapan bersama. Berbagai canda tawa mereka lontarkan satu sama lain di tengah jeda makan. Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan kuliahnya Meisa, pekerjaan Ayah dengan pembelinya yang tidak sabaran ketika hendak membeli roti bakar, sampai pada pembahasan mengenai kondisi Ibu. Semua hal mereka bahas pada pagi hari itu. Sampai tiba-tiba, suara gedoran dari arah pintu rumah menghentikan obrolan mereka.

DOR DOR DOR

Seseorang berteriak dengan keras dari luar rumah. Meisa dan orang tua nya pun bergegas keluar rumahnya, mencoba melihat siapa gerangan yang mengacaukan sarapan mereka saat itu.

“Heh, kapan kalian mau bayar hutang kalian, hah? Saya juga butuh uang itu tau. Kalian memang sengaja tidak mau membayarnya, ya?” bentak lelaki tua yang baru diketahui namanya adalah Pak Somat. Kumis dan jenggotnya ngeri betul, pikir Meisa.

Ayah dan Ibu begitu gelagapan menjawab pertanyaan Pak Somat. Memang seharusnya hari ini adalah hari di mana Ayah dan Ibu membayar hutang mereka. Tetapi, nampaknya orang tua Meisa masih belum memiliki cukup uang untuk membayar.

“Maaf Pak Somat, tetapi istri saya masih butuh uang untuk pengobatannya. Jadi, uangnya masih kami gunakan untuk membiayai pengobatan itu.” Ujar Ayah seadanya. Meisa dan Ibu hanya terpaku di ambang pintu. Sedikit menangis, Ibu menyeka air matanya yang keluar begitu saja. Tak menyangka, sakit stroke yang menyerangnya membuat suaminya memiliki masalah karena hutang guna membayar rumah sakit tempat dirinya menjalankan pengobatan. Meisa di samping Ibu, mencoba terus menguatkan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Ayahmu sudah bekerja dengan keras untuk keluarga ini. Dan Ibu malah membebaninya dengan penyakit ini.” lirih Ibu kepada Meisa dengan tersedu-sedu.

Meisa berusaha terus menyabarkan Ibunya. Sedang sang Ayah masih terus bernegosiasi dengan Pak Somat di sana. Percekcokan mulut benar-benar tak terhindarkan. Hingga tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, dua orang preman pesuruh Pak Somat keluar dari balik mobilnya dan meninju Ayah habis-habisan.

“Ini baru peringatan untuk kau ya. Jika besok, hutang sejumlah dua juta itu belum juga kau bayarkan, aku tak akan segan-segan menyakiti kedua perempuan yang kau kasihi itu.” Teriak Pak Somat sambil lalu melirik ke arah Meisa dan Ibunya berdiri. Meisa dan Ibu menjadi bergidik dibuatnya.

“Ayah.. Ayah tidak apa-apa?” Meisa bergegas membantu Ayahnya berdiri dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.

“Tidak apa-apa, sayang.” Ucap Ayah.

Ibu memasang muka teramat sendu. Perasaannya nampak kalut.

“Maafkan aku ya mas. Aku selalu menambah beban kamu saja.” Kata Ibu dengan dibarengi tetes air matanya.

Ayah nampak meringis kesakitan. Tapi, Ayah tidak pernah merasa benar-benar sakit, meskipun luka lebam semakin membiru menjadi tiga bagian pada area wajahnya.

“Aku tidak apa-apa. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk terus berjuang menghidupi keluarga ini. Apalagi kamu sedang sakit. Apapun akan aku lakukan untuk membuatmu sembuh. Setelah ini aku akan terus berusaha mencari uang untuk membayar hutangnya Pak Somat.”

“Gunakan saja uang kau simpan untuk pengobatanku, mas. Berikan pada Pak Somat.”

“Bagaimana mungkin. Kamu masih butuh ke dokter.”

“Kali pertama aku ke dokter satu minggu yang lalu itu sudah lebih dari cukup, mas. Sekarang aku hanya butuh istirahat dan melakukan terapi secara mandiri di rumah.”

“Tapi, sayang..”

“Sudahlah tidak apa mas.”

Meisa begitu sedih melihat kegalauan kedua orang tuanya. Tak terasa air matanya tumpah juga.

“Ayah, Ibu. Meisa juga akan membantu melunasi hutang. Meisa bisa mengambil uang saku dari beasiswa kuliahnya Meisa. Sedikit-sedikit Meisa juga sudah tabungkan sisa uang saku itu setiap bulannya.”

Ayah dan Ibu memandang sendu anaknya. Tapi, senyum keduanya kemudian merekah dan itu berhasil menghangatkan suasana yang terus membeku beberapa menit yang lalu.

Pada malam hari, seperti biasa, jam tujuh malam, Ayah mulai bersiap menjajakan kembali roti bakarnya di alun-alun. Ia terus berjuang di kala kesulitan melanda keluarganya. Ia bersyukur mempunyai istri yang begitu mencintainya, juga anaknya, Meisa yang cerdas dan berbakti kepada orang tua. Ia begitu beruntung memiliki kedua perempuan itu, dan kedua perempuan itulah yang selalu menjadi alasan untuknya agar terus bersemangat dalam bekerja.

Meisa membantu Ayahnya bersiap-siap. Dibawakannya berbagai bahan dan alat untuk berdagang Ayahnya nanti di tengah keramaian kota. Harap-harap pembeli yang datang akan semakin banyak.

“Oh iya. Ayah mau beri ini untuk kamu dan Ibumu.” Ujar Ayah sambil memberikan sebuah amplop putih kepada Meisa, sebelum ia benar-benar menancap gas menjauhi rumah.

“Ini apa yah?” tanya Meisa penasaran.

“Udah simpan saja. Nanti sekalian berikan pada Ibu ya.”

“Iya kan bisa besok yah, ketika kita sarapan. Sekalian ada Ibu.”

“Sudah tidak apa-apa. Ayah takut tidak ada waktu. Ya sudah, Ayah pergi bekerja dulu ya, sayang.”

“Baik, yah.” Ucap Meisa sambil menyalami tangan Ayahnya.

Nanti malam, aku akan membukakan pintu untukmu, yah, kata Meisa dari hatinya. Ia begitu tidak sabar menanti kedatangan Ayahnya pulang. Menyapa dan tersenyum lagi kepadanya, dan ketika masuk rumah diusaplah kepalanya. Ia sungguh menanti momen itu. Dan kepada ibunya lah ia kembali berjanji untuk terjaga. Jadi, Ibu tidak perlu menahan kantuk semalaman hanya untuk menanti sang suami. “Biar Meisa saja yang berjaga.” Ucap Meisa kepada Ibunya malam itu.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, jarum jam di dinding kedengarannya berdetak begitu keras. Sadar tidak sadar, suara itu seperti membuat Meisa semakin bertambah rasa kantuknya. Karena hal itulah, akhirnya Meisa membuat kopi. Setalah ia meminum kopi, rasa kantuknya pun menghilang. Ia kini malah mencemaskan waktu tidurnya, kalau-kalau matanya akan terjaga sampai matahari menyingsing nantinya.

Di kamarnya, Meisa menunggu Ayah. Ia lihat berkali-kali jam dindingnya. Sudah begitu larut, tapi ayahnya belum kembali pulang. Sampai akhirnya, penantian Meisa terbayar sudah. Suara pintu itu diketuk Ayah tepat pada jam dua dini hari. Buru-buru Meisa ke arah ruang tamu dan membukakan pintu.

Setelah dibukanya.. Rupanya..

“Bapak siapa?” tanya Meisa terkejut.

Ternyata orang yang mengetuk pintu itu bukan Ayahnya, melainkan seorang bapak-bapak yang mengaku sebagai teman Ayah.

“Nak. Ayahmu kecelakaan. Nyawanya sudah tidak tertolong lagi.” ucap bapak itu dengan sedihnya.

Meisa tidak percaya. Ia bantah perkataan orang yang mengaku teman Ayahnya itu dengan keras. Tapi percuma saja, bantahannya tidak lantas mengubah redaksi bicara bapak itu, dan itu membuat Meisa begitu frustasi. Ia pun menangis sejadi-jadinya.

Di ruang tamu, Meisa melihat Ibunya menangis tersedu. Rupanya, Ibu mendengar suara gaduh antara Meisa dan teman Ayah, dan itu berhasil membuat Ibu terbangun dan mendengar semuanya.

“Ibuu..” seru Meisa sambil menghampiri Ibunya.

“Ibu.. Ayah.. Ayah.” Ucapnya lagi dengan terbata. Sampai ia telah berada tepat di hadapan sang Ibu. Namun, perlahan penglihatan Meisa tiba-tiba kabur dan semakin samar.

“Ibu. Kenapa? Ayah.. Ayah Bu..”

“AYAAHHH..”

Meisa terkejut. Matanya terbuka. Ia pun terbangun dari kasurnya. Nafasnya begitu terengah-engah. Bantalnya penuh dengan peluh. Ia bingung terhadap apa yang barusan terjadi.

“Meisaa..” panggil seorang wanita membuyarkan lamunan Meisa.

Ia amati seorang wanita di kursi roda itu. Tepat di samping kasurnya.

“Ibu.” Ucap Meisa lirih.

“Kamu mimpi, nak.” Ucap Ibu.

Meisa masih berusaha membuat pikirannya sadar sesadar-sadarnya. Sampai ia betul-betul paham, bahwa segala peristiwa mengenai Ayah itu hanya ada dalam mimpinya.

“Iya Bu. Meisa hanya bermimpi.”

“Kamu kenapa memanggil Ayahmu? Kita akan menunggunya lagi malam ini. Tenang saja, ia akan pulang, nak.” Ucap Ibu, kemudian ia lekas berlalu dari kamar anaknya pelan-pelan.

“Oh Ibu...” lirih Meisa begitu sedih. Ia sedih sekali melihat Ibunya belum bisa menerima keadaan. Sampai tiba-tiba, Meisa merasa ada sesuatu yang mengganjal di tangannya. Ia ternyata memegang sesuatu di tangan kananya selagi ia tertidur.

Amplop putih? Setelah dibuka, rupanya isinya adalah uang berlembar-lembar rupiah berwarna merah. Meisa begitu bingung. Semakin tambah kebingungannya setelah ia melihat ada kertas sobekan yang di dalamnya tertulis, “Untuk pengobatan ibumu.”. Meisa terus berpikir keras akan amplop putih itu. Sampai ia menemukan suatu jawaban.

“AYAH.”

Buru-buru ia keluar kamar dan sedikit berlari ke arah ruang tamu. Pagi itu, sekitar pukul enam pagi, pintu rumah dibukanya dan terlihat sosok Ayahnya melambai dan tersenyum ke arahnya. Meisa ikut tersenyum ke arah Ayah. Sekali Meisa mengerjapkan mata, sosok Ayahnya menghilang.

“Terima kasih Ayah. Aku akan meneruskan perjuangan Ayah. Aku akan berusaha membahagiakan Ibu sampai ia benar-benar sembuh.”

Sekian~

 

 

Biodata Penulis

Penulis bernama Nur Rahmatul Chasanah. Putri dari Bumi Kartini yang lahir di bulan Juli tahun 2000. Ia merupakan seseorang dengan pembawaan yang kalem. Ia juga tidak terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, namun cukup serius dalam menyelesaikan apapun itu. Suka berbicara lewat aksara. Mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Semarang dengan Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Masih belajar nulis dan terus ingin mengembangkan diri.

Instagram @nurrahma­_ch. Wattpad @noora_nr.


Keterangan : Juara 2 Lomba Cerpen Nasional

Congrats

Editor by Alda Putri Indah Nilawati 

Thanks to all partisipant

JUARA 1 LOMBA CERPEN NASIONAL (Dies Natalies Himagron 18)

 

DI ATAS MOTOR BAPAK

Karya: Wimar Nurkholipah

  

“Bapak! Besok berangkat lebih pagi lagi ya,” rengekku selepas pulang sekolah.

“Lah, memangnya kenapa toh?” tanya Bapak yang sedang menonton tv.

“Tadi pagi aku dihukum, disuruh lari muterin lapangan basket, gara-gara telat satu menit!” protes ku setelah meneguk air putih yang kuambil dari kulkas.

“Yah. Tidak apalah, sekali-kali olahraga pagi. Makannya kalau bangun pagi-pagi.” Jawab Bapak dengan sedikit kekehannya.

Mendengar respon seperti itu, aku langsung melengos ke kamar. Bukannya meminta maaf, Bapak justru menyalahkan diriku. Seingatku, aku bangun bahkan lebih awal dari Bapak, aku juga melihat Ibu yang pergi membeli makanan untuk sarapan.

Setiap pagi-pagi sekali, Setelah azan subuh, Ibu selalu bersiap untuk membeli makanan. Tempat penjual makanan yang biasa Ibu datangi selalu ramai jika matahari sudah terbit, untuk itu Ibu selalu bersiap membeli makanan sebelum matahari terbit.

Biasanya, setelah membeli makanan, Ibu langsung membangunkanku untuk berangkat sekolah, tapi pagi tadi, aku sudah bersiap-siap untuk mandi, bahkan menyapa Ibu yang sudah membuka pintu untuk pergi.

Aku sengaja mengeluh akan hal kecil seperti itu kepada Bapak, karena hanya dengan begitu, aku memiliki kesempatan untuk mengobrol dengan Bapak meski harus diawali dengan berantem kecil.

Bapak adalah orang yang tidak suka mengobrol dengan anak-anaknya, kecuali anaknya memulai dulu untuk bicara. Bapak bukan orang yang perhatian bahkan cenderung kaku. Tapi bagiku, Bapak adalah orang pertama yang selalu mendukungku.

***

Tentang kejadian dua tahun lalu, yang membuatku sangat kecewa. Ketika aku tidak memiliki harapan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di negeri, karena saat itu nilai ujianku tidak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah negeri. Kecewa sudah pasti.

 “Tidak apa-apa, kamu sudah berjuang keras, semuanya sudah terlanjur, tidak perlu ditangisin.” ucap Bapak dengan tenang kala itu.

Kala itu, aku pulang dari pengambilan nilai ujian bersama Ibu di sekolah, aku pulang dengan wajah yang murung dan dengan mata yang sembab. Bapak yang melihat pun bertanya-tanya, tapi aku hanya diam, kemudian Ibu menceritakan semua yang terjadi.

Dua hari berselang, tiba-tiba Bapak masuk ke kamarku dan mengajakku keluar. Bapak mengajakku keluar tanpa memberitahu akan kemana, Bapak hanya menyuruhku untuk bersiap-siap.

“Kita mau kemana sih Pak?” tanyaku yang sudah siap dan berdiri di samping motor Bapak.

“Sudah ikut saja.” Jawab Bapak singkat sambil memberikan helm kepadaku.

Entahlah, aku hanya bisa membuntut saja kalau sudah begitu. Diatas motor, Bapak menyetir dengan kecepatan sedang.

Tiba-tiba motor Bapak berhenti, di tempat yang tidak asing bagiku. Tempat yang biasa Bapak kunjungi, tempat dimana Bapak setiap hari mencari nafkah. Yah, kami sampai di kantor Bapak, dengan motor yang sudah terparkir di halaman kantor.  Bapak mengajakku masuk, menyuruhku untuk menunggu sebentar.

Selang beberapa jam, Bapak keluar dari ruang kerja, lalu mengajakku untuk pergi kembali. Aku masih terdiam bahkan enggan untuk menanyakan kemana Bapak akan membawaku pergi. Yang ada dipikiranku hanya rasa bersalah setiap kali aku melihat Bapak atau Ibu.

Sekarang motor Bapak yang bermerek SupraX 125 keluaran tahun 2005, sudah terparkir kembali di tempat yang berbeda. Bapak mengajakku ke tampat makan yang berjejer di jalan raya, ke tempat makan favoritku, yaitu: Sega Jamblang.

 Setelah turun dari motor, kami duduk di tempat makan yang seperti angkringan tersebut, dan memesan beberapa menu makanan.

Sambil makan, Bapak mulai menanyakan tentang sekolahku. Bingung, sedih dan merasa bersalah aku ditanya seperti itu, aku hanya diam dengan mencoba menahan air mataku yang akan keluar.

“Kamu tidak perlu merasa bersalah, Bapak tidak peduli jika kamu harus sekolah di swasta. Sekolah mah dimana aja, yang penting kitanya, niat kitanya. Bapak tidak peduli nilai kamu ndok, itu usaha kamu, kamu sudah berusaha yang terbaik,” titah Bapak, yang seperti tahu isi kepalaku.

“Kata Ibu, kamu mau ke MAN?” tanya Bapak sambil melahap makanannya.

“Iya Pak, tapi di MAN biayanya mahal, mending buat kuliah. Aku sudah mutusin buat ke swasta aja Pak.” Jawabku asal.

“Kalau kamu mau ke MAN juga tidak apa. Masalah biaya biar Bapak yang pikirkan, kamu fokus sekolah saja, dari pada nanti nyesel.” Jawab Bapak, dengan tetap melahap makanan tanpa menoleh ke arahku.

Aku tetap menolak tawaran Bapak, mana mungkin aku egois, padahal disisi lain Bapak harus keluar banyak uang untuk kakakku yang kuliah di swasta dan keperluan adikku yang baru saja berumur satu tahun.

Sambil menghabiskan makanan. Sore itu, tiba-tiba saja Bapak menceritakan tentang dirinya, tentang niatnya untuk mengikuti seleksi PNS. Meskipun banyak orang yang mengatakan tidak mungkin, tapi Bapak yakin akan pilihan Bapak.

 Kala itu, pembukaan lowongan PNS. Dengan modal ijazah sekolah dasar Bapak mendaftarkan diri, Bapak tidak tahu apakah dirinya akan diterima, tapi Bapak tetap mendaftar, karena niat yang kuat Bapak untuk mengubah nasib keluarganya, meskipun dilain sisi banyak orang yang meremehkan Bapak.

Bapak hanya memiliki ijazah sekolah dasar. Bapak memilih tidak melanjutkan sekolah, karena ingin membantu orang tuanya di sawah dan membiayai keenam adiknya.

 Beberapa hari kemudian, Bapak dinyatakan lulus seleksi, hal yang semua orang bilang tidak mungkin. Dengan terburu-buru Bapak menyiapkan berkas yang diperlukan untuk registrasi, karena pengumuman itu diketahui bersamaan dengan registrasi yang akan ditutup tiga jam lagi.

Keterbatasan biaya pun harus Bapak pikirkan, dan mau tidak mau Bapak harus menjual sarung yang baru saja dibelikan oleh Ibunya. Lalu uang itu digunakan untuk keperluan registrasi dan ongkos ke kantor pusat. Bapak terpaksa naik angkutan umum karena waktu yang tidak cukup.

 Sesampainya disana, Bapak harus menerima perlakuan buruk mereka, mereka murka kepada Bapak karena datang terlalu mepet waktu penutupan. Tapi, yang Bapak lakukan hanya menerima dan meminta maaf, meski itu bukan sepenuhnya salah Bapak.

“Esensi dari cerita Bapak bukan tentang Bapak diterimanya, tetapi tentang tekad dan yakin akan pilihan kita. Bapak harap kamu juga begitu, tidak perlu takut, yang terpenting kamu punya pendirian  dan yakin atas apapun pilihanmu. Soal biaya itu jadi urusan Bapak, selama Bapak mampu, Bapak akan usahain biaya sekolah kamu.” Terang Bapak diakhir ceritanya.

Dari cerita Bapak yang panjang itu, aku mendapatkan motivasi dan semangat baru, aku pun bilang ke Bapak tentang niatku yang akan mencoba mendaftar di SMA yang guruku rekomendasikan.

Sebenarnya aku tidak tahu sekolah itu dimana, nama sekolahnya saja cukup asing bagiku, meski begitu, guruku mengatakan bahwa banyak alumni yang masuk ke sekolah itu.

 Bapak pun mengerti dan hanya menganggukan rencanaku. Dan obrolan panjang kami ini harus berakhir, karena malam sudah menampakkan diri, bersamaan dengan itu, aku langsung bergegas menghabiskan makananku.

 Sore yang singkat itu terasa panjang. Kami menghabiskan waktu dengan baik. Kini aku dan Bapak sudah meninggalkan tempat makan tersebut, diatas motor Bapak, didalam hati, aku berjanji akan terus berusaha dan belajar memutuskan pilihan dalam hidup, serta yakin dengan apapun itu impian-impian yang aku punya sekalipun itu akan sulit.

****

Aku yang sedang mengerjakan tugas di kamar, dikagetkan dengan Bapak yang datang tiba-tiba.

“Ada stabilo tidak ndok ?” tanya Bapak.

 “Ada. nih Pak.” Ucapku sambil memberikan stabilo yang kebetulan sedang kugunakan.

“Terus jangan lupa mandi! Anak cewek males banget!” kesal Bapak, yang hanya ditanggapi dengan anggukan olehku.

Setelah mendapatkan stabilo dan mengingatkanku untuk mandi, Bapak pergi keluar. Tapi, tiba-tiba saja Bapak berhenti didepan pintu kamar, “Oh iya, buat besok, Bapak harus bangun jam berapa?” tanya Bapak.

“Pokoknya harus pagi!” jawabku yang menekan kata pagi, dan hanya dianggukan oleh Bapak, lalu benar-benar pergi meninggalkan kamarku.

Cirebon, 22 November 2020


BIODATA PENULIS

Wimar Nurkholipah merupakan Mahasiswi aktif Universitas Negeri Semarang, lahir pada tanggal 04 November 2000 di Cirebon-Jawa Barat. Beralamat Gempol Utara RT/RW 02/01 Kec. Gempol Kab. Cirebon. Selain menulis cerpen ia pun menulis essay. Ia pernah menjadi juara 2 essay tingkat nasional. Jejak dapat ditemukan di akun instagram @wnn2000_ dan akun facebook Wimar Nurkholipah.


Keterangan Juara 1 Lomba Cerpen Nasional 

Congratulations

Editor by: Alda Putri Indah Nilawati

Thanks to all participants